,

Pentingnya Pendekatan Fikih Budaya di Tengah Masyarakat

Budaya dan kehidupan sosial masyarakat terus berkembang terlebih pada era globalisasi sekarang ini. Hal ini menuntut adanya pendekatan tertentu dalam penetapan hukum Islam kontemporer khususnya dalam aspek budaya dan adat istiadat, yang senantiasa berkembang tanpa batas. Memperkenalkan dan mensosialisasikan pendekatan fikih budaya di tengah masyarakat menjadi penting. Sayangnya pendekatan ini baik secara filosofis, historis dan sosial belum demikian familiar.

Berangkat dari latar belakang tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Seminar Kajian Fikih Budaya, pada Senin (18/2), di Auditorium Gedung Yayasan Badan Wakaf UII, Jl. Cik Di Tiro No.1 Yogyakarta. Tiga narasumber dihadirkan dalam penyelenggaraan seminar, yakni Dr. Tamyiz Mukharrom, M.A., Dr. Hamim Ilyas, M.Ag. dan Dr. Aguk Irawan MN.

Disampaikan Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., P.hD. dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum itu berputar bersama alasan hukumnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum. Ibn Qayyim al- Jawziyyah menyatakan bahwa perubahan fatwa dapat terjadi dikarenakan adanya perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan. Jika pendapat ini diikuti, hukum Islam bersifat responsif sekaligus adaptif.

Fathul Wahid menuturkan, perubahan mengharuskan respons dari hukum Islam. Sebagai contoh, munculnya cyptocurrency, seperti bitcoin, misalnya mematik diskusi fikihnya. Dampak teknologi informasi, dalam beragam interaksi antar manusia pun perlu dibahas. Selain itu, penerapan fikih, seperti dicontohkan Rasulullah tidaklah selalu saklek.

Menurut Fathul Wahid, fikih Kebudayaan merupakan salah satu ikhtiar UII untuk mengkaji kembali apa yang selama ini mungkin terlupakan. Islam itu berkembang, masyarakat berkembang namun sering kali kita lupa mengembangkan semacam alat lensa untuk melihatnya. “Pertemuan ini bukanlah yang terakhir, insya Allah ke depan ada lanjutannya, bagaimana kita mengembangkan fikih kebudayaan yang bisa mendorong perubahan,” tuturnya.

Fathul Wahid menambahkan, untuk upaya yang pertama dengan membuka kesadaran para dosen, melihat sesuatu dari banyak prospektif. Fikih tidaklah sesempit hukum, mempunyai kekuatan-kekuatan yang mendorong. “Dari kesadaran bersama ini akan mendorong gerakan bersama,” tutur Fathul Wahid.

Lebih lanjut disampaikan Fathul Wahid, kebudayaan merupakan hasil seluruh konstruksi intelektual manusia. Ada pertanian, tambang, teknologi, keuangan, dan kiranya perlu dibingkai. Sedikit-sedikit kita mengatakan tidak boleh, tanpa melihat basisnya atau asas-asasnya dulu seperti apa. “Contohnya dalam musik perlu disepakati koridornya, kapan boleh dan kapan tidak. Sehingga tidak lantas semua alat musik dikatakan haram. Hal ini penting sehingga perluasan prespektif menjadi pintu masuknya,” paparnya.

Menurut Hamim Ilyas, kebudayaan adalah hidup yang dijalani manusia dengan belajar. Kebudayaan menentukan tinggi rendah, maju mundur, sejajar tertinggalnya peradaban manusia. Umat manusia tertinggal dibanding umat lain. Ketertinggalan umat karena mereka hidup di zaman industri modern dengan kebudayaan agraris tradisional.

Disampaikan Hamim Ilyas, satu satunya jalan untuk mengejar ketertinggalan adalah transformasi sosial menjadi masyarakat industri modern. Transformasi sosial hanya dapat dilaksanakan dengan transformasi budaya. Fikih kebudayaan menjadi landasan teologis untuk transformasi sosial umat.

Masih Hamim Ilyas, kegagalan transformasi kebudayaan umat menjadi kegagalan risalah Islam. Keberhasilan transformasi berarti keberhasilan agama menjadi faktor pendorong pembangunan peradapan. “Keberhasilan transformasi berarti pula keberhasilan pelaksanaan fungsi Islam mempersatukan, menyelamatkan dan memperbaiki umat Islam,” ujarnya.

Sementara disampaikan Tamyiz Mukharrom, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. ”Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif,” jelasnya.

Sedangkan menurut Aguk Irawan pengertian budaya terlalu luas jangkauannya. Kata budaya, adalah bentuk jama’ yang terdiri dari bentuk tunggal budhi, yaitu budi-pekerti atau akal nalar, pengertian ini hampir sesuai dengan akar ’tsaqofi’ dalam bahasa Arab. Sementara jika istilah ini harus disandingkan dengan bahasa Inggris ’culture’ atau colore (latin), maka punya arti mengolah lahan, atau segala daya kreatif.

“Antropolog Eb Tylor memberikan definisi kebudayaan dengan mencakup tujuh unsur di dalamnya; pengetahuan, kepercayaan, bahasa, adat, moral, hukum dan kesenian. Jadi merumuskan fikih budaya dalam tataran istilah terlalu rumit,” paparnya. (RS)