Problematika Mata Uang Kripto di Indonesia

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII) menyelenggarakan webinar “Problematika Cryptocurrency di Indonesia”. Webinar ini diadakan pada Sabtu (11/6) dengan menghadirkan dua narasumber yang ahli di bidangnya, yaitu Nainul Huda (Peneliti Institute For Development of Economics and Finance) dan Inda Rahardian, S.H., LL.M. (Dosen FH UII).

Nailul menyampaikan bahwa belanja perusahaan IoT terus mengalami peningkatan dan diprediksi akan mencapai angka 10 persen pada tahun 2021. Berdasarkan data dari Google, Temasek, dan Bain, Indonesia saat ini menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di ASEAN. Jumlah PDB Ekonomi Digital yang mencapai 3,7 persen dari PDB nasional, dan diprediksi pada tahun 2025 mendatang akan terus meningkat menjadi 9,3 persen. Hal ini juga diiringi dengan penggunaan pembayaran uang elektronik yang semakin meningkat.

Jika melihat pada penjualan aset kripto, pemerintah tidak bisa mengatur harga yang berlaku atas suatu aset kripto. Harga ini murni ditentukan dari penjualan dan penawaran antar penjual dan pembeli aset kripto. Meskipun diklaim lebih unggul dari mata uang konvensional, namun harga kripto sangat cepat berubah, sehingga dampak dari investasinya sangat beresiko. 

Ia mencontohkan pada kasus Bitcoin Terra Luna, harga kripto sangat cepat berubah. Seperti ketika seseorang pada saat ini membeli aset kripto dengan harga 150 ribu rupiah, pada malam hari angkanya bisa naik sampai 1 juta rupiah. Lebih lanjut, Nailul menjelaskan bahwa dengan adanya perkembangan ini, terjadi juga berbagai kejahatan digital currency

Dengan masifnya kejahatan yang dapat ditimbulkan dari transaksi digital currency ini, ia menyarankan kepada semua orang untuk lebih berhati-hati. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yakni know your customer (KYC) yaitu mengetahui dan mengenali setiap customer yang akan melakukan transaksi, melalui riset atau data alternatif dan transaction monitoring yaitu memonitoring setiap transaksi yang akan dilaksanakan.

Sementara itu, Inda Rahardian menjelaskan bahwa cryptocurrency diciptakan dengan dua tujuan, yaitu pertama, untuk dijadikan sebagai alat pembayaran/mata uang dan kedua, untuk dijadikan sebagai komoditas/aset digital. Beberapa regulasi di Indonesia yang mengatur atau berkaitan dengan virtual currency terdapat dalam UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, PBI No 18/40/PBI/2016 tentang Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PBI No 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, UU No 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan Peraturan Menteri Perdagangan No 99 Tahun 2019 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto.

Meski demikian, menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan virtual currency hingga saat ini belum dapat diterima sebagai alat pembayaran. Hal ini dikarenakan virtual currency tidak memenuhi beberapa karakteristik alat pembayaran, seperti: terdapat otoritas pengatur dan pengawas yang bersifat sentral, memiliki nilai yang cenderung stabil, diterima secara umum (acceptability), dan terdapat lembaga penjamin. 

Terakhir, Inda menyampaikan bahwa perkembangan teknologi yang kredibel itu membuat hukum kesulitan untuk mengikutinya. Hal ini menjadi tantangan bagi hukum untuk terus berkembang menyesuaikan diri untuk mengatur segala hal yang berkembang saat ini. (EDN/ESP)