Problematika Pembentukan Undang-Undang

Forum Kajian dan Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FKPH FH UII) UII bersama Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (CLS FH UGM) menggelar diskusi bertemakan “Problematika Pembentukan Undang-Undang Ditinjau Dari Segi Yuridis UU No. 15 Tahun 2019 dan Pasal 59 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2020” pada Jum’at (21/5). Narasumber yang dihadirkan yakni Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM. dan Dr. Idul Rishan, S.H., LLM.

Idul Rishan mengawali pemaparannya dengan membahas pengujian formil UU di Mahkamah Konstitusi. Beliau mengatakan bahwa pengujian formil UU di Mahkamah Konstitusi berasal karena pembentukan UU yang cacat prosedur, mengabaikan partisipasi publik, tidak akuntabel, serta tidak transparan. Beberapa problematika ini lahir dari konfigurasi politik selama tahun 2019-2024.

Konfigurasi politik yang tidak berimbang sehingga melahirkan oversize coalition akan berdampak pada fungsi legislasi antara Presiden dan DPR yang akhirnya UU dibuat secara ugal-ugalan. Dampaknya memunculkan fast track legislation, lock accountability yang merupakan pembentukan UU secara cepat tetapi sangat lemah terhadap akuntabilitasnya, serta tidak bisa dipertanggungjawabkan karena sebagian besar itu pendukung pemerintah sehingga menyebabkan matinya pengawasan politik di parlemen.

Proses pembentukan UU secara cepat inilah yang melahirkan problematika pembentukan UU. Pembentukan UU yang dilakukan dengan proses cepat antara lain pada UU KPK, UU Minerba, UU MK dan UU Cipta Kerja.

Sedangkan pada pelanggaran terhadap prosedur pembentukan UU jika melihat aspek prosedur itu dibagi menjadi 5 yakni pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan dan perundangan. Perundangan itu tidak bisa disebut sebagai aspek formil itu sudah dikunci norma prospektif maka jika tidak ditanda tangani akan tetap berlaku dalam waktu 30 hari. Idul Rishan menjelaskan bahwa dimulai dari pengajuan itu dilihat rasionalitas kebutuhan di dalam prolegnas, karena seharusnya ada yang tidak masuk prolegnas tetapi dipaksakan masuk di dalam pembentukan UU. Kemudian pelanggaran aspek prosedur sering dilakukan oleh pembentuk UU dengan kekuatan politik mayoritas di Parlemen yakni ketiadaan koherensi naskah akademik dengan draf RUU yang diusulkan oleh pemerintah dan DPR.

Sedangkan pengambilan persetujuan kadang mengabaikan syarat kuorum, mungkin ada beberapa fraksi yang tidak menyetujui tapi tetap disahkan dan disetujui kemudian diambil persetujuan bersama. Serta di dalam aspek pengesahan, salah satu pelanggaran yang terjadi contohnya pada pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja, ada penyelundupan pasal-pasal baru yang tidak masuk di dalam naskah persetujuan. Hal inilah yang menyebabkan tuntutan pengujian formil di MK itu meningkat.

Sementara Zainal Arifin Mochtar dalam pemaparannya menjelaskan mengenai tanggapan masyarakat mengenai UU tertentu. Masukan masyarakat bisa dijadikan parameter peraturan oleh pembentuk UU secara kualitatif. Ia memberi contoh negara Jerman yang menggunakan pola simulasi, yang mana simulasi dilakukan sebelum UU dikeluarkan dan kemudian didiskusikan bersama masyarakat yang berdampak langsung dengan UU tersebut.

Zainal Arifin Mochtar berharap Indonesia bisa menerapkan pola simulasi seperti negara Jerman. Bilamana menggunakan prinsip simulasi maka simulasi ini membuat praktik UU itu lebih menarik itu secara kualitatif. Sedangkan secara kuantitatif dengan pola populis, dari lembaga survey bisa mudah tahu berapa dukungan masyarakat terhadap suatu isu. Menurutnya Lembaga Legislasi bisa menggunakan survei untuk mengetahui tanggapan masyarakat mengenai UU tertentu. Dengan itu, lembaga pembentuk dapat dibekali secara kualitas dan kuantitas.

Lebih lanjut Zainal Arifin Mochtar menjelaskan persoalan transparansi pembentukan UU, yang menurutnya bukan sekedar bagaimana rakyat memberikan masukan secara transparan tetapi ada proses transparan dari negara kepada rakyat, yang itu artinya harus bersegi dua. Artinya ada transparansi terhadap masyarakat atas partisipasi publik dan proses politik yang ada di pemerintah dan DPR juga terbuka terhadap publik. Ia menambahkan bahwa politik hukum presiden itu harusnya lebih jelas, bisa diukur dari Surat Presiden. Sedangkan dalam kekosongan norma terhadap omnibus law bahwa harusnya disepakati bahwa UU itu sakral.

Ia menilaii UU tidak dianggap sesuatu yang serius, karenanya penyusunan peraturan perundang-undangan diterabas seenaknya seperti UU Cipta Kerja. Seharusnya setiap peraturan perundang-undangan harus ada kesepakatan dari kesepakatan isi, metode, substansi, mekanisme pembentukan. (FHC/RS)