Skripsi, Kecakapan Menulis, dan Perangai Ilmiah Bangsa

Dalam sepekan terakhir, jagad pendidikan tinggi di Indonesia dihangatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permen) 53/2023 terbaru tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Ada banyak hal baik dalam Permen tersebut untuk menjaga kedaulatan kepada setiap perguruan tinggi dalam menentukan standar mutunya, termasuk pilihan-pilihan pendekatan asesmennya. Dalam banyak aspek, saya melihat, Permen ini tidak bersifat imperatif yang kaku, tetapi justru membuka alternatif.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah bahwa Permen tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai satu-satunya asesmen kelulusan. Permen menyebutkan bahwa asesmen ketercapaian kompetensi lulusan program sarjana atau sarjana terapan dapat melalui: (a) pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok; atau (b) penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.

Kata hubung yang digunakan adalah ‘atau’ baik untuk kalimat pengantarnya (sarjana atau sarjana terapan) maupun bentuk asesmennya. Apakah bentuk asesmen (a) untuk sarjana dan (b) untuk sarjana terapan, tidak mudah dijelaskan dengan pasti. Yang menjadikan diskusi hangat adalah adanya alternatif asesmen akhir selain skripsi, termasuk prototipe, proyek, atau tugas akhir lainnya.

 

Memperjelas definisi skripsi

Ada beberapa isu di sini, yang perlu diperjelas. Pertama, apakah menjadikan skripsi setara dengan prototipe dan proyek pendekatan yang bisa diterima? Mari kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Skripsi merupakan karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya. Salah satu frasa kunci dalam definisi ini adalah ‘karangan ilmiah’.

Kedua, bagaimana seorang mahasiswa melaporkan protototipe atau proyek atau tugas akhir yang dilakukan? Apakah tidak dalam bentuk tulisan yang menggunakan pendekatan ilmiah juga? Apakah ketika mendesain dan mengimplementasi prototipe atau proyek atau tugas akhir lain mahasiswa tidak menggunakan pendekatan ilmiah? Bagaimana melatih mahasiswa dalam berpikir ilmiah, jika prototipe, proyek, atau tugas akhir tidak dianggap aktivitas ilmiah?

Jika aktivitas tersebut bersifat ilmiah, maka sifat laporan tertulisnya juga ilmiah. Jika pun menggunakan struktur penulisan yang berbeda, itu soal lain. Intinya tetap karangan ilmiah, dan itu adalah skripsi.

Saya khawatir, kata skripsi dalam Permen telah mengalami penyempitan makna. Ini mirip dengan membandingkan antara tumbuh-tumbuhan, pohon mangga, pohon duren, dan pohon apel. Tiga yang terakhir dapat dimasukkan ke dalam kelompok bertama (tumbuh-tumbuhan).

 

Kecakapan menulis dan berpikir kritis

Menyusun skripsi, baik berbasis riset, pengembangan prototipe, proyek, atau tugas akhir lain, adalah salah satu ikhtiarkan memastikan bahwa mahasiswa mempunyai kecakapan menulis ilmiah dengan baik. Tulisan ilmiah yang baik tidak mungkin hadir tanpa basis pemikiran yang tertib, argumentatif, dan berbasis data. Kecakapan dalam berpikir kritis diperlukan untuk melahirkan tulisan ilmiah yang bernas.

Kecakapan ini menjadi semakin penting ketika lulusan di dunia berkarya juga ditantang untuk mampu mengartikulasikan dan menjual idenya kepada orang lain, dalam bentuk tertulis. Mampu menulis dengan baik merupakan salah satu indikator bahwa seseorang memahami ide, konteks, atau tugas yang dikerjakan secara mendalam.

Tulisan juga telah terbukti menjadi perantara diseminasi ilmu pengetahuan ke khalayak yang lebih luas. Kehadiran ide dalam bentuk tertulis, telah memungkinkan manusia saat ini mengakses ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan berabad-abad lalu.

Selain itu, tulisan akan memudahkan mengundang orang lain melalui penelahaan sejawat  untuk menguji kredibilitas aktivitas ilmiah yang dilaporkan. Pendekatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa tulisan ilmiah yang beredar berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Perangai ilmiah bangsa

Jika kecakapan menulis ilmiah tidak dilatih, saya khawatir, perangai ilmiah masyarakat Indonesia semakin pudar. Apa indikasinya? Salah satunya adalah penyebaran informasi yang tidak valid dan hoaks yang sangat cepat.

Hoaks sebetulnya dipastikan tidak ilmiah, tetapi karena tapis perangai ilmiah sudah terkoyak, maka hoaks sangat mudah dipercaya dan diamplifikasi lebih luas. Tidak hanya oleh mereka yang awam, tetapi oleh banyak cendekia. Data atau fakta dipinggirkan dan digantikan dengan opini yang sering kali tidak kalis kepentingan.

Apakah ini bukan pemikiran yang telalu mengada-ada? Bisa jadi. Tapi, hubungan antarkejadian seringkali tidak selalu serta-merta dan terlihat di awal. Yang jelas, apa yang kita nikmati hari ini, tidak lepas dari pilihan-pilihan masa lalu yang dibuat, baik oleh kita maupun oleh orang lain.

Dengan pemahaman ini, saya khawatir, pilihan kita untuk tidak melatih kecapakan menulis ilmiah para sarjana baru, akan berdampak buruk pada pudarnya perangai ilmiah bangsa ini di masa depan. Semoga prediksi saya ini salah.

Tulisan ini sudah tayang di Republika.id edisi 4 September 2023