Srikandi UII Launching Hotline Penangan Kekerasan Seksual di Kampus

Srikandi UII menyelenggarakan webinar daring bertajuk “Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkup Pendidikan” dengan narasumber M. Novvaliant Filsuf Tasaufi, S.Psi. atau kerap disapa Ali (Konselor PIKM Aushaf UII) dan Asasiputih, S.H., M.H. (Advokat LKBH FH UII) pada Sabtu (8/5). Agenda ini disandingkan dengan peluncuran Hotline Srikandi UII bagi pihak yang mengalami kekerasan seksual dalam lingkup UII.

Latar belakang adanya layanan ini dinilai penting untuk menyediakan rasa aman bagi penyintas kekerasan seksual di kampus. “Adanya layanan ini juga dinilai sebagai salah satu bentuk untuk menghadirkan rasa nyaman bagi korban,” tutur Ayu Aprilianti sebagai salah satu penanggung jawab hotline.

Hotline ini juga diakui oleh Ayu sudah menggandeng beberapa pihak terkait dalam hal ini LKBH FH UII dan sudah melalui diskusi yang dalam dengan Pak Ali sebagai konselor yang kerap kali menangani kasus serupa.

Ali mengawali materi dengan memaparkan definisi kekerasan seksual itu sendiri. Berkaca dari beberapa penyintas kekerasan maupun pelecehan seksual yang ditangani olehnya, ia menemukan dalam setiap kasus hampir pasti penyintas akan takut untuk bicara. Hal itu ditengarai karena adanya ketimpangan relasi kuasa oleh pelaku. “Seperti bawahan dengan atasan, dosen dan mahasiswa,” terangnya.

Ia menuturkan bahwa kekerasan seksual itu sendiri akan memberikan dampak yang sangat ekstrim ke penyintas. “Mereka itu melewati masa krisis dalam hidupnya sehingga Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ini rawan baginya,” tuturnya. Gejala yang dialami itu adalah seperti mimpi buruk berulang-ulang dengan tema dan gestur khas ketika mereka mengalami kekerasan seksual.

Selain PTSD, depresi juga menjadi salah satu dampak yang paling berbahaya. Pasalnya hal ini sampai memicu gangguan fisik seperti tekanan darah tinggi, gangguan pernafasan, hingga kendala pada sistem reproduksi. Lebih parah lagi ketika masalah yang ada itu dipendam dan berujung pada rasa ingin bunuh diri oleh penyintas. Oleh karenanya, Ali menjelaskan secara praktikal yang dibutuhkan oleh mereka adalah rasa aman dan pengertian dari khalayak. Sehingga mereka bisa dengan nyaman melalui harinya tanpa mengalami trauma.

Pendampingan juga dibutuhkan ketika seseorang telah mengalami kekerasan seksual. Pendampingan itu dapat berupa hadir di sampingnya dan mencoba mendukungnya. Atau paling tidak sekadar hadir dan mendengarkan cerita. Selain itu, dijelaskan pula pentingnya bagi kita yang tidak mengalami kasus kekerasan seksual untuk senantiasa memunculkan rasa berharga.

Selain itu, Ali juga menjelaskan, untuk menjadi seorang pendengar saja tidak cukup untuk mendengar. Ada beberapa poin yang harus diperhatikan agar penyintas tidak terganggu. “Poin tersebut adalah: menjadi seorang yang tulus mendengar, tidak memaksa bercerita, memperhatikan gestur tubuh, fokus pada cerita, dan yang penting adalah mendengarkan saksama bukan hanya mendegar,” panjang Ali.

Menyoal pendampingan, Asasiputih dari LKBH FH UII memberi tanggapan pihaknya siap menerima aduan yang sekiranya diperlukan butuh pendampingan dari segi hukum. Namun, penanganan pendampingan itu sendiri kerap kali menemui hambatan. Asasi mengaku, setiap kasus atau aduan yang masuk itu terlebih dahulu harus didalami dulu. Hal itu menurutnya, karena dalam aturan hukum itu sendiri mengharuskan mengikuti prosedur secara sistematis. “Perlu sekurang-kurangnya dua bukti yang jelas, agar kasus itu cukup untuk diungkap,” tutur Asasi. (KR/ESP)