,

UII Tanggapi Disahkannya UU MD3

Pengesahan revisi kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang UU MD3 telah menuai penolakan dari masyarakat. Beberapa pasal di dalam UU ini dikritik karena dikhawatirkan akan memutar balik arah demokrasi yang sudah sekian lama diperjuangkan bangsa Indonesia menjadi otoriter, antikritik, dan membungkam kebebasan berekspresi.

Sebagai entitas akademik, Universitas Islam Indonesia (UII) memandang perlu memberikan tanggapan dan pernyataan sikap atas disahkannya UU MD3 sebagai bagian dari tanggungjawab sosial kaum akademik. Demikian disampaikan Rektor UII, Nandang Sutrisno, SH., LLM., MHum., PhD. di hadapan awak media dalam jumpa pers di Rumah Makan Padang Sederhana, Kamis (22/3).

Dalam penyampaian pernyataan sikap UII ini Nandang Sutrisno didampingi Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH, M.Hum., Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII, Anang Zubaidy, SH., M.Hum., Direktur Humas UII Karina Utami Dewi, SIP., MA. dan Ketua LEM Fakultas Hukum UII, Billy Elanda.

Disampaikan Nandang Sutrisno, pernyataan sikap UII menolak ketentuan pasal-pasal di dalam UU MD3 yang berpotensi menimbulkan mal-praktik dalam pelaksanaannya, yakni ketentuan mengenai pemanggilan paksa oleh DPR; ketentuan mengenai tindakan untuk mengambil langkah hukum oleh MKD; permintaan izin tertulis presiden atas dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPR; dan pemberian kewenangan DPD untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan Perda dan Perda.

“Norma-norma di atas, terutama norma mengenai pemanggilan paksa dan tindakan hukum MKD justru akan mengebiri kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu ciri Negara demokrasi,” jelasnya.

Selanjutnya disampaikan Nandang Sutrisno, pernyataan sikap UII menolak ketentuan pasal-pasal yang memuat norma penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPRD karena kental nuansa “bagi-bagi kursi” daripada peningkatan performa kelembagaan. Penolakan ini juga didasarkan pada kekhawatiran membengkaknya anggaran belanja MPR, DPR, dan DPD di tengah kehidupan ekonomi masyarakat yang tidak menentu.

Dalam pernyataan sikap UII juga disampaikan Nandang Sutrisno mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang pada intinya mengubah beberapa norma di atas demi terwujudnya iklim demokrasi yang baik, peningkatan performa lembaga perwakilan, dan efisiensi anggaran.

Sementara disampaikan Anang Zubaidy, beberapa perubahan dalam UU MD3 patut mendapatkan catatan kritis dan obyektif secara akademik. Perubahan-perubahan ini akan menimbulkan beberapa konsekuensi seperti norma yang mengatur mengenai pemanggilan paksa kepada setiap orang dengan menggunakan instrumen Negara (Kepolisian RI).

“DPR akan menjadi lembaga superior yang seakan segala titahnya harus dituruti oleh masyarakat yang notabene adalah pemilihnya sendiri,” paparnya.

Selain itu disampaikan Anang Zubaidy, pemberian kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap setiap orang atau perkumpulan atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR sebagaimana diatur di dalam UU MD3 akan berpotensi mengiris nalar kritis masyarakat untuk menyampaikan kritik kepada DPR.

Anang Zubaidy menambahkan keharusan adanya izin tertulis dari Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari MKD dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR berkaitan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 akan memberikan “imunitas berlebihan” bagi anggota DPR.

Selain itu penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, DPD sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 84 ayat (1), dan Pasal 260 ayat (1) UU MD3 menimbulkan kecurigaan publik mengenai adanya deal-deal politik dan “bagi-bagi kursi”. Penambahan kursi pimpinan akan berkonsekuensi pada beban anggaran Negara di tengah kondisi masyarakat yang jauh dari kesejahteraan.

”Pemberian kewenangan kepada DPD untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah tidak sesuai dengan maksud awal dibentuknya DPD di dalam amandemen konstitusi. DPD semestinya menjadi penyuara kepentingan lokal (daerah) di tingkat nasional, bukan justru menjadi bagian dari aktor lokal,” jelas Anang Zubaidy. (KDJ/RS)