,

APTFI dan Jurusan Farmasi UII Gelar Workshop Pelatihan Preseptor

Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) mengadakan workshop Evaluasi dan Pelatihan Preseptor. Workshop yang digelar di Ruang Auditorium Fakultas Hukum (FH) UII pada Rabu (10/5) tersebut turut dihadiri oleh Ketua Jurusan Farmasi, Prof. Dr. apt. Yandi Syukri, M.Si dan Ketua APTFI Prof. Dr. apt. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc.

Pada sesi materi, Farmasi UII menghadirkan Prof. Dr. apt. Umi Athiyah, MS., dan Prof. Dr. apt. Agung Endro Nugroho, M.Si., sebagai narasumber sesi “Workshop Evaluasi Pelatihan Preseptor”.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. apt. Yandi Syukri berharap Farmasi UII dapat meningkatkan jenjang pendidikan hingga S3. “Dalam waktu yang tidak terlalu lama kami ingin juga memiliki S3 Farmasi, sehingga mudah-mudahan menjadi School of Farmasi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Prof. Dr. apt. Yandi Syukri mengatakan bahwa Farmasi UII terus berupaya meningkatkan kualitas agar dapat menambah minat mahasiswa yang ingin menempuh pendidikan di Farmasi UII. “Saat ini kita mahasiswanya juga tidak terlalu banyak, S1 (150), ditambah 25 untuk kelas internasional. Jadi di S1 kita buka kelas internasional apabila kita punya 3 mahasiswa asing,” sambungnya.

Terakhir, Prof. Dr. apt. Yandi Syukri menekankan bahwa saat ini Farmasi UII sedang berusaha untuk mengembangkan kualitas pendidikan melalui riset dan pengembangan. “Kalau kita ada mahasiswa asing, tentunya harus berubah, karena kalau kuliahnya 1 tahun itu kayaknya tidak bisa. Makanya kita buka jalur yang kuliahnya gak banyak, cuma 1 semester dan riset itulah yang akan diperbanyak. Itulah upaya-upaya yang kita coba untuk melakukan, untuk pengembangan Jurusan Farmasi UII,” imbuhnya.

Sementara, Prof. Dr. apt. Daryono Hadi Tjahjono dalam sambutannya mengatakan bahwa Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara Asia lainnya dalam hal farmasi. “Salah satu yang pernah kami diskusikan di Asian Association School of Pharmacy, Asia, itu salah satunya adalah standarisasi preseptor. Jadi saya kira kalau di Asia alhamdulillah mungkin kita termasuk yang tidak ketinggalan. Jadi yang saya tahu sudah ada standarisasi preseptor adalah Thailand, Singapura, kemudian Malaysia, jadi kita tidak terlalu ketinggalan dengan negara-negara atau pendidikan ke-farmasian di Asia,” ujarnya.

Beberapa catatan penting dalam mengusulkan Program Studi Apoteker diharapkan segera diperbaiki. “Dari pengalaman kami ada beberapa catatan yang biasanya perlu diperbaiki oleh teman-teman pengusul Program Studi Apoteker, dan tentu harapannya apa yang masih kurang, yang kami anggap masih kurang dan perlu disempurnakan oleh Perguruan Tinggi maupun Prodi pengusulnya itu dapat dilakukan selekasnya sehingga rekomendasi yang biasanya rekomendasi positif,” pesannya.

Terakhir, Prof. Dr. apt. Daryono Hadi Tjahjono mengingatkan pentingnya buku capaian pembelajaran guna menyusun kurikulum pendidikan kefarmasian. “Mudah-mudahan tidak hanya yang ingin mendirikan Program Studi Profesi Apoteker, tetapi kita-kita yang sudah memiliki Program Studi Profesi Apoteker berdasarkan buku capaian pembelajaran yang sudah kami sampaikan untuk capaian pembelajaran pendidikan Sarjana Farmasi dan Program Studi Profesi Apoteker. Tentunya akan menjadi rujukan utama di dalam penyusunan kurikulum di tempat bapak/ibu sekalian,” tutupnya.

Pada sesi pemaparan materi, Prof. Dr. apt. Umi Athiyah menegaskan perlunya sikap tanggap dan adaptif di setiap perubahan. “Tuntutan dinamika masyarakat ini luar biasa, begitu juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan pengalaman, pembelajaran praktek kerja profesi diharapkan punya kemampuan tanggap terhadap perubahan di depan kita. Contoh kemarin saat pandemi, sehingga muncul inovasi-inovasi baru,” tegasnya.

Prof. Dr. apt. Umi Athiyah menambahkan, “Tujuan pembimbingannya adalah satu, memberikan pengalaman kepada mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah dimilikinya di kampus pada saat S1 untuk mengembangkan nilai sikap dan perilaku yang baik dalam praktek profesi. Sehingga peran pembimbingan di sini, baik itu pembimbingan oleh preseptor dan oleh dosen dari Program Studi, tentu lebih kepada bagaimana sikap, perilaku dalam menjalankan profesinya, sehingga tidak cukup hanya kognitif, tetapi ketiga-tiganya. (JR/ESP)