FMIPA UII Selenggarakan Diskusi Integritas Impor Garam

Masih tingginya ketergantungan Indonesia akan produk luar menjadi keprihatinan tersendiri. Seperti salah satunya impor garam yang jumlahnya cukup fantastis. Garam impor tersebut digunakan untuk industri, sedangkan garam dapur lokal banyak yang tidak dipakai karena dinilai tidak sesuai dengan nilai standarisasinya.

Melihat fenomena ini, Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan diskusi integritas dengan tema “Tinjauan konstitusional perekonomian nasional : Kajian terhadap menderasnya impor garam ?”. Kajian yang digelar pada Rabu (28/3) di Gedung FMIPA UII ini menghadirkan Yuniar Riza Hakiki (Anggota Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII) sebagai pemateri.

Yuniar menjelaskan ekonomi Indonesia merdeka harus berusaha mengolah sendiri bahan – bahan mentah yang dihasilkannya dan mengurangi ketergantungan impor barang jadi. Kondisi terkini kebutuhan garam di Indonesia menurut rilis data kebutuhan garam berbeda antar satu kementrian dan kementrian lain. Terjadi kenaikan dan kesenjangan antara produksi dan kebutuhan terhadap permintaan garam industri di Indonesia.

“Krisis garam saat ini adalah krisis garam industri, bukan garam konsumsi/garam rumah tangga/garam produksi rakyat. Garam konsumsi cukup produksinya, tetapi tidak dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku karena kualitasnya tidak masuk standar industri”, ungkapnya.

Ia mencontohkan misalnya perusahaan pangan tidak dapat menggunakan garam konsumsi yang kadarnya NaCl-nya kurang dari 97%, dan kadar airnya lebih besar dari 0,5%. Sedangkan garam rakyat kadar NaCl-nya kurang dari 94%, dan kadar airnya sekitar 5%. Selain itu garam petani maupun garam produksi PT Garam tidak mencukupi jumlahnya, apalagi sekarang masih musim hujan yang minim sinar matahari.

Kebutuhan garam industri pada 2018 ini sekitar 3,7 juta ton karena permintaan sektor industri yang terus tumbuh. Sementara garam konsumsi produksi PT Garam (yang juga membeli/mengumpulkan dari petani garam) hanya berkisar 300 – 400 ribu ton (tergantung cuaca) dan sangat sedikit sekali produksi garam industrinya. “Sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka, untuk memenuhi kebutuhan garam industri, sekitar 3 juta ton harus diimpor. Tahun 2017 saja pemerintah harus mengimpor 2,1 juta ton garam industri”, tuturnya.

Selain itu, ia pun mengaku khawatir bahwa garam impor akan merembes ke pasar, terlebih penambak akan memasuki masa panen pada Juli hingga Oktober mendatang. Sehingga, diharapkan pemerintah dapat mengawasi kebijakan impor agar harga garam tetap stabil. (MHA/ESP)