Freeport dan Kesejahteraan Rakyat Indonesia

Hubungan Negara Republik Indonesia dengan perusahaan PT. Freeport Indonesia tampaknya terus menimbulkan polemik, hal ini dikarenakan rakyat Indonesia masih belum mendapatkan haknya secara proporsional. Topik ini diketengahkan dalam Seminar Nasional yang bertajuk “Menguak Kebijakan Freeport: Adakah Kesejahteraan Untuk Rakyat?” yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jum’at (24/03).

Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut, Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ir. Bambang Gatot Ariyono, M.M., Advokat dan Pengamat Hukum Pertambangan, Junaidi Albab Setiawan, S.H.,M.H.,LL.M., serta Pakar Hukum Bisnis FH UII, Dr. Siti Anisah, S.H.,M.Hum.

Disampaikan Junaidi Albab, cerita Freeport adalah ironi suatu negara berdaulat, sebab Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam melimpah yang seharusnya memiliki posisi tawar tinggi, justru kalah dari korporasi milik asing. “Saat itu ekonomi Indonesia sangat lemah dan berharap investor asing masuk, membawa modal dan keahlian untuk mengolah kekayaan alam. Namun regulasi bidang investasi masih sangat terbatas, sehingga bagi korporasi liberal, kelemahan negara itu adalah kesempatan,” paparnya.

Junaidi Albab menambahkan, kondisi itu bukan semata-mata karena Freeport, melainkan juga karena kepemimpinan negara yang tidak amanah selama ini. Penyelesaian hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang bermartabat.“Selama ini para elite cenderung mengobral sumber daya alam dengan memberlakukan undang-undang yang bernuansa neoliberalisme yang menyejahterakan segelintir orang,” ungkapnya.

Sementara Dr. Siti Anisah dalam materinya menyampaikan, bahwa kondisi perselisihan tersebut terjadi karena dinilai penerapan good public governance belum sepenuhnya efektif, padahal hal tersebut dinilai penting untuk dijadikan dasar dalam mewujudkan agenda pembangunan nasional. “Good public governance menjadi salah satu prasyarat untuk meningkatkan daya saing indonesia secara global, bersaing secara sehat dan tinggi, serta menuju terbangunnya kredibilitas Negara,” tutur Dr. Siti Anisah.

Ditambahkan pula oleh Bambang Gatot Ariyono, saat ini status jenis perizinan PT. Freeport Indonesia telah beralih dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 10 Februari 2017 berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 413 K/30/MEM/2017. “IUPK yang diberikan kepada Freeport sesungguhnya bisa menjadi jalan tengah untuk mengatasi perselisihan. Sementara jika Freeport tetap berpegang teguh pada KK dengan dalih keuntungan, maka seharusnya tidak sulit bagi Freeport menyesuaikan diri dengan perubahan regulasi,” ucap Bambang.

Di samping itu, Bambang juga mengapreasiasi diadakannya seminar nasional ini, “saya senang dapat hadir di sini, dan pemerintah juga selalu terbuka untuk berdialog dan berdiskusi,” ungkapnya.