Atas nama Universitas Islam Indonesia (UII), saya mengucapkan selamat kepada 26 doktor baru. Kehadiran Ibu/Bapak doktor baru, menjadikan cacah dosen dengan pendidikan doktor di UII menjadi 241 orang (atau 30,7%) dari keseluruhan 784 dosen. Persentase ini jauh di atas rata-rata nasional. Data pada akhir 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan dari 309.006 dosen, baru 51.500 (atau 16,7%) yang berpendidikan doktor.
Saat ini, sebanyak 129 dosen UII juga sedang menempuh studi doktor, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika semuanya berhasil dalam beberapa tahun mendatang, maka proporsi dosen UII yang berpendidikan doktor akan menjadi 47,2%.
Variasi perguruan tinggi
Saya juga berbahagia melihat variasi asal perguruan tinggi para doktor baru. Dari 26, sebanyak 12 orang lulusan beragam perguruan tinggi di Indonesia. Sisanya (14 orang) menuntaskan studinya di Jepang (5 orang), Australia (3), Turki (2), Belanda, Malaysia, Swedia, dan Thailand, masing-masing 1 orang. Keragaman ini sangat penting untuk menjaga dinamika gagasan dan diskusi.
Mengapa hal ini penting? Adagium ide dari banyak kepala lebih baik dibandingkan dengan satu kepala hanya valid jika memenuhi beberapa syarat. Ada paling tidak empat syarat: (a) keragaman opini – setiap orang harus mempunyai informasi privat, meskipun hanya merupakan interpretasi lain atas fakta yang ada; (b) independensi – opini orang tidak ditentukan oleh opini orang-orang sekitarnya; (c) desentralisasi – orang dapat memanfaatkan pengetahuan lokal; dan (d) agregasi – adanya mekanisme yang menggabungkan informasi privat ke dalam keputusan kolektif. Perspektf ini dipaparkan oleh Surowiecki (2005) dalam bukunya yang saya baca sekitar 15 tahun lalu, The Wisdom of Crowds.
Keragaman asal perguruan tinggi doktor baru, bagi saya, merupakan awal baik sebagai syarat terciptanya iklim yang kondisif untuk tumbuh dan berkembangnya gagasan segar.
Tidak semua berhasil
Keberhasilan 26 doktor baru adalah nikmat personal dan institusional yang harus disyukuri, karena tidak semua yang mengambil studi doktor dapat menyelesaikannya dengan beragam alasan.
Di Amerika Utara, tingkat kegagalan studi doktor diperkirakan mencapai 40-50% (Litalien & 2015). Di Australia, sebelum pandemi Covid-19 menyerang, sekitar 20% mahasiswa program doktor tidak menyelesaikan studinya. Ketika pandemi, mereka menghadapi masalah pendanaan akut, sebanyak 45% (dari 1.020 responden) kemungkinkan akan menghentikan studi sampai akhir tahun ini (Johnson et al., 2020). Di bidang sistem informasi, bidang yang saya tekuni, sebanyak sepertiga mahasiswa doktor gagal menyelesaikan studinya (Avison & Pries-Heje, 2005). Saya belum menemukan statistik serupa di Indonesia.
Saya insyaallah sangat paham perjuangan menyelesaikan studi doktor. Selain sebagai mantan pelaku, beragam kisah juga mampir di telinga saya. Tidak semuanya menyenangkan. Sebagian cerita lain sangat menantang. Alhamdulillah, Ibu/Bapak semua berhasil melaluinya dengan pertolongan Allah.
Meski demikian, capaian yang disertai kerja keras tersebut bukan alasan untuk jumawa dan menjadi besar kepala. Sebaliknya, banyak harapan besar digantungkan dan ini berarti tugas besar menunggu ditunaikan.
Inilah saatnya kembali mengabdikan ilmu dan pengalamannya untuk bersama-sama memajukan UII, yang merupakan milik kita semua. Ini juga pengingat untuk saya dan semua Ibu/Bapak yang saat ini memegang amanah.
Saya memberi sambutan di sini, juga karena amanah yang Ibu/bapak berikan kepada saya. Tidak selamanya. Posisi kita sama, yaitu dosen. Surat lamaran yang kita kirimkan ke UII beberapa tahun silam sama: melamar posisi dosen. Menjadi rektor atau pemegang amanah lain hanya merupakan tugas tambahan, untuk melayani warga UII.
Refleksivitas otonom
Saya berharap para doktor baru, bersama-sama dosen yang lain, dapat membuat perubahan di bidang akademik dan kelembagaan. Untuk itu, saya berharap Saudara dapat meningkatkan refleksivitas otonom (autonomous reflexivity), mengasah sensitivitas dalam membaca keadaan. Refleksivitas ini diperlukan untuk memahami konteks dengan lebih baik.
Di sana akan ada percakapan internal (internal conversation) yaitu aktivitas mental mandiri yang dialog internal dengan diri sendiri yang intensif tanpa melibatkan orang lain (Mutch, 2007). Kita bisa sebut dengan bahasa kasual sebagai solilokui (soliloquy): berbincang dengan diri sendiri.
Namun jangan disalahpahami. Tentu, pada kesempatan lain, hasil refleksivitas ini dapat diperkaya dan dikontestasi dengan ide orang lain. Tetapi, pesan kuncinya adalah menjadi pemikir mandiri dengan ide-ide yang tulen (genuine).
Saya percaya, refleksivitas yang mendalam akan menghadirkan kesadaran yang lebih komprehensif dan gambar yang lebih utuh. Ujungnya, adalah ide yang matang, atau paling tidak setengah matang, yang sudah melibatkan beragam variabel sebagai konsiderans. Pemikir yang seperti ini akan terhindar dari sindrom “seharusnya” atau “kudune”, yang biasanya karen kegagalan memahami realitas.
Tampaknya kita tidak sulit untuk bersepakat, seringkali asumsi tidak sesuai dengan realitas. Realitas merupakan hasil kontruksi sosial yang melibatkan banyak aktor dengan bermacam-macam motivasi dan kepentingan. Seringkali yang tampak tidak mewakili keseluruhan realitas.
Kesadaran seperti ini, pada akhirnya akan melahirkan ide yang selain berangkat dari pemahaman baika tas konteks kita berpijak, juga mendalami kekuatan diri sendiri, untuk menavigasikan perubahan di tengah beragam kekangan dan keterbatasan yang ada. Jika ini yang terjadi, maka akan lahir manusia-manusia yang tidak mudah mengeluh, tetapi justru menjadi produktif dan kontributif dengan inovasi strategi untuk tumbuh dan berkembang.
Namun, ada tantangan dalam melakukan refleksivitas. Salah satunya adalah yang disebut Bourdieu (1990) —sosiolog Prancis— sebagai habitus: kebiasaan, kecakapan, dan disposisi/tendensi yang mendarah daging secara sosial. Habitus tidak selamanya sesuai dengan tuntutan zaman dan karenanya dapat berubah.
Kebiasaan baru, hasil refleksivitas dan kontektualisasinya yang dijalankan terus-menerus dan membudaya sangat menjadi habitus baru. Habitus baru dibutuhkan untuk menjemput masa depan yang penuh ketidakpastian, seperti saat ini. Suka atau tidak suka, pilihan kita tidak banyak.
Referensi
Avison, D., & Pries-Heje, J. (Eds.). (2005). Research in Information Systems: A Handbook for Research Supervisors and Their Students. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Bourdieu (1990). The Logic of Practice. Cambridge: Polity.
Johnson, R. L., Coleman, R. A., Batten, N. H., Hallsworth, D., & Spencer, E. E. (2020). The Quiet Crisis of PhDs and COVID-19: Reaching the financial tipping point. Research Square. doi: 10.21203/rs.3.rs-36330/v2
Litalien, D., & Guay, F. (2015). Dropout intentions in PhD studies: A comprehensive model based on interpersonal relationships and motivational resources. Contemporary Educational Psychology, 41, 218–231.
Mutch, A. (2007). Reflexivity and the institutional entrepreneur: A historical exploration. Organization Studies, 28(7), 1123-1140.
Surowiecki, J. (2005). The Wisdom of Crowds. New York: Anchor.
Sambutan pada acara penyambutan 26 doktor baru Universitas Islam Indonesia, pada 27 Desember 2021.
Refleksivitas Doktor Baru
Atas nama Universitas Islam Indonesia (UII), saya mengucapkan selamat kepada 26 doktor baru. Kehadiran Ibu/Bapak doktor baru, menjadikan cacah dosen dengan pendidikan doktor di UII menjadi 241 orang (atau 30,7%) dari keseluruhan 784 dosen. Persentase ini jauh di atas rata-rata nasional. Data pada akhir 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan dari 309.006 dosen, baru 51.500 (atau 16,7%) yang berpendidikan doktor.
Saat ini, sebanyak 129 dosen UII juga sedang menempuh studi doktor, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika semuanya berhasil dalam beberapa tahun mendatang, maka proporsi dosen UII yang berpendidikan doktor akan menjadi 47,2%.
Variasi perguruan tinggi
Saya juga berbahagia melihat variasi asal perguruan tinggi para doktor baru. Dari 26, sebanyak 12 orang lulusan beragam perguruan tinggi di Indonesia. Sisanya (14 orang) menuntaskan studinya di Jepang (5 orang), Australia (3), Turki (2), Belanda, Malaysia, Swedia, dan Thailand, masing-masing 1 orang. Keragaman ini sangat penting untuk menjaga dinamika gagasan dan diskusi.
Mengapa hal ini penting? Adagium ide dari banyak kepala lebih baik dibandingkan dengan satu kepala hanya valid jika memenuhi beberapa syarat. Ada paling tidak empat syarat: (a) keragaman opini – setiap orang harus mempunyai informasi privat, meskipun hanya merupakan interpretasi lain atas fakta yang ada; (b) independensi – opini orang tidak ditentukan oleh opini orang-orang sekitarnya; (c) desentralisasi – orang dapat memanfaatkan pengetahuan lokal; dan (d) agregasi – adanya mekanisme yang menggabungkan informasi privat ke dalam keputusan kolektif. Perspektf ini dipaparkan oleh Surowiecki (2005) dalam bukunya yang saya baca sekitar 15 tahun lalu, The Wisdom of Crowds.
Keragaman asal perguruan tinggi doktor baru, bagi saya, merupakan awal baik sebagai syarat terciptanya iklim yang kondisif untuk tumbuh dan berkembangnya gagasan segar.
Tidak semua berhasil
Keberhasilan 26 doktor baru adalah nikmat personal dan institusional yang harus disyukuri, karena tidak semua yang mengambil studi doktor dapat menyelesaikannya dengan beragam alasan.
Di Amerika Utara, tingkat kegagalan studi doktor diperkirakan mencapai 40-50% (Litalien & 2015). Di Australia, sebelum pandemi Covid-19 menyerang, sekitar 20% mahasiswa program doktor tidak menyelesaikan studinya. Ketika pandemi, mereka menghadapi masalah pendanaan akut, sebanyak 45% (dari 1.020 responden) kemungkinkan akan menghentikan studi sampai akhir tahun ini (Johnson et al., 2020). Di bidang sistem informasi, bidang yang saya tekuni, sebanyak sepertiga mahasiswa doktor gagal menyelesaikan studinya (Avison & Pries-Heje, 2005). Saya belum menemukan statistik serupa di Indonesia.
Saya insyaallah sangat paham perjuangan menyelesaikan studi doktor. Selain sebagai mantan pelaku, beragam kisah juga mampir di telinga saya. Tidak semuanya menyenangkan. Sebagian cerita lain sangat menantang. Alhamdulillah, Ibu/Bapak semua berhasil melaluinya dengan pertolongan Allah.
Meski demikian, capaian yang disertai kerja keras tersebut bukan alasan untuk jumawa dan menjadi besar kepala. Sebaliknya, banyak harapan besar digantungkan dan ini berarti tugas besar menunggu ditunaikan.
Inilah saatnya kembali mengabdikan ilmu dan pengalamannya untuk bersama-sama memajukan UII, yang merupakan milik kita semua. Ini juga pengingat untuk saya dan semua Ibu/Bapak yang saat ini memegang amanah.
Saya memberi sambutan di sini, juga karena amanah yang Ibu/bapak berikan kepada saya. Tidak selamanya. Posisi kita sama, yaitu dosen. Surat lamaran yang kita kirimkan ke UII beberapa tahun silam sama: melamar posisi dosen. Menjadi rektor atau pemegang amanah lain hanya merupakan tugas tambahan, untuk melayani warga UII.
Refleksivitas otonom
Saya berharap para doktor baru, bersama-sama dosen yang lain, dapat membuat perubahan di bidang akademik dan kelembagaan. Untuk itu, saya berharap Saudara dapat meningkatkan refleksivitas otonom (autonomous reflexivity), mengasah sensitivitas dalam membaca keadaan. Refleksivitas ini diperlukan untuk memahami konteks dengan lebih baik.
Di sana akan ada percakapan internal (internal conversation) yaitu aktivitas mental mandiri yang dialog internal dengan diri sendiri yang intensif tanpa melibatkan orang lain (Mutch, 2007). Kita bisa sebut dengan bahasa kasual sebagai solilokui (soliloquy): berbincang dengan diri sendiri.
Namun jangan disalahpahami. Tentu, pada kesempatan lain, hasil refleksivitas ini dapat diperkaya dan dikontestasi dengan ide orang lain. Tetapi, pesan kuncinya adalah menjadi pemikir mandiri dengan ide-ide yang tulen (genuine).
Saya percaya, refleksivitas yang mendalam akan menghadirkan kesadaran yang lebih komprehensif dan gambar yang lebih utuh. Ujungnya, adalah ide yang matang, atau paling tidak setengah matang, yang sudah melibatkan beragam variabel sebagai konsiderans. Pemikir yang seperti ini akan terhindar dari sindrom “seharusnya” atau “kudune”, yang biasanya karen kegagalan memahami realitas.
Tampaknya kita tidak sulit untuk bersepakat, seringkali asumsi tidak sesuai dengan realitas. Realitas merupakan hasil kontruksi sosial yang melibatkan banyak aktor dengan bermacam-macam motivasi dan kepentingan. Seringkali yang tampak tidak mewakili keseluruhan realitas.
Kesadaran seperti ini, pada akhirnya akan melahirkan ide yang selain berangkat dari pemahaman baika tas konteks kita berpijak, juga mendalami kekuatan diri sendiri, untuk menavigasikan perubahan di tengah beragam kekangan dan keterbatasan yang ada. Jika ini yang terjadi, maka akan lahir manusia-manusia yang tidak mudah mengeluh, tetapi justru menjadi produktif dan kontributif dengan inovasi strategi untuk tumbuh dan berkembang.
Namun, ada tantangan dalam melakukan refleksivitas. Salah satunya adalah yang disebut Bourdieu (1990) —sosiolog Prancis— sebagai habitus: kebiasaan, kecakapan, dan disposisi/tendensi yang mendarah daging secara sosial. Habitus tidak selamanya sesuai dengan tuntutan zaman dan karenanya dapat berubah.
Kebiasaan baru, hasil refleksivitas dan kontektualisasinya yang dijalankan terus-menerus dan membudaya sangat menjadi habitus baru. Habitus baru dibutuhkan untuk menjemput masa depan yang penuh ketidakpastian, seperti saat ini. Suka atau tidak suka, pilihan kita tidak banyak.
Referensi
Avison, D., & Pries-Heje, J. (Eds.). (2005). Research in Information Systems: A Handbook for Research Supervisors and Their Students. Oxford: Butterworth-Heinemann.
Bourdieu (1990). The Logic of Practice. Cambridge: Polity.
Johnson, R. L., Coleman, R. A., Batten, N. H., Hallsworth, D., & Spencer, E. E. (2020). The Quiet Crisis of PhDs and COVID-19: Reaching the financial tipping point. Research Square. doi: 10.21203/rs.3.rs-36330/v2
Litalien, D., & Guay, F. (2015). Dropout intentions in PhD studies: A comprehensive model based on interpersonal relationships and motivational resources. Contemporary Educational Psychology, 41, 218–231.
Mutch, A. (2007). Reflexivity and the institutional entrepreneur: A historical exploration. Organization Studies, 28(7), 1123-1140.
Surowiecki, J. (2005). The Wisdom of Crowds. New York: Anchor.
Sambutan pada acara penyambutan 26 doktor baru Universitas Islam Indonesia, pada 27 Desember 2021.
Simak Tips Menyusun Berkas Lamaran Kerja Semenarik Mungkin
Ketika hendak melamar pekerjaan, para jobseeker tentunya akan disibukkan dengan mengurus berkas-berkas persyaratan yang dibutuhkan oleh penyedia lowongan. Beberapa hal yang tak boleh luput dari perhatian adalah membuat surat lamaran, curriculum vitae (CV) hingga portofolio. Akan tetapi bagaimana agar berkas-berkas tersebut terlihat menonjol dan menarik di mata recruiter?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Direktorat Pengembangan Karier dan Alumni (DPKA) Universitas Islam Indonesia menggelar Career Training kepada mahasiswa UII pada Jumat (24/12).
Read more
Menilik Dinamika dan Perkembangan Hukum Pidana di Tahun 2021
Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar refleksi akhir tahun dengan tema “Dinamika dan Perkembangan Hukum Pidana Sepanjang Tahun 2021”. Webinar daring yang diadakan pada hari Jumat (24/12) itu menghadirkan Hanafi Amrani, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. dan Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. Ketiganya merupakan para Dosen Hukum Pidana di FH UII.
Read more
Yayasan Badan Wakaf UII Luncurkan Lembaga Wakaf Uang
Potensi wakaf uang di Indonesia menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) di tahun 2020 sebesar Rp 188 triliun per tahun. Dengan angka yang dapat dikatakan besar, masih banyak yang perlu dioptimalisasi dalam proses penghimpunan, pengembangan, dan pendistribusian. Merujuk hal tersebut, Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII) melakukan inovasi baru dengan membentuk Lembaga Wakaf Uang UNISIA (LWU Unisia). Soft Launching pun berhasil digelar bertempat di Hall YBW UII, Jalan Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta, Rabu (22/12).
Read more
Mahasiswa Farmasi UII Raih Medali Emas di IGICSC 2021
Tim mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII) yang beranggotakan Ilya Marsya Rohila, Andika Wahyu Wardana, dan Iffa Tsabita Rahmadanti Suganda berhasil meraih medali emas dalam gelaran International Green Inovation Competition for Sustainable Campus (IGICSC) 2021. Kompetisi lintas negara ini dihelat oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri Sultan Thaha, Jambi.
Read more
Misi Arsitek dan Ragam Respons
Selamat kepada para arsitek muda atas pencapaiannya dalam menyelesaikan pendidikan profesi arsitek di Universitas Islam Indonesia, dan hari ini mengikuti wisuda profesi dan janji arsitek. Semoga ini menjadi awal baik dengan hentakan kuat yang mendorong Saudara berkarya dengan tekun, yang akhirnya akan mengantarkan Saudara menjadi arsitek profesional mandiri yang akan diambil sumpah profesinya oleh Dewan Arsitek Indonesia (DAI).
Misi desainer
Sampai saat ini saya masih percaya, bahwa yang dibangun seorang desainer, termasuk arsitek, bukanlah gedung atau ruang lain, tetapi afordans (affordance). Artefak yang dihasilkan oleh desainer sudah seharusnya menghadirkan afordans, kemungkinan-kemungkinan tindakan (action possibilities), yang dapat dilakukan ketika seorang aktor berinteraksi dengan artefak arsitektural.
Ketika konsep ini disepakati, maka konteks akan sangat mempengaruhi nilai yang akan disuntikkan oleh desainer dan juga kemungkinan deviasi penggunaan artefak tersebut. Nilai desain sebuah artefak tidak selalu dipahami dan direspons yang sama oleh beragam aktor.
Situasi pandemi dan pascapandemi nanti, dapat menjadi wakil dari konteks tersebut. Kesadaran baru publik yang lebih peduli dengan kelestarian lingkungan atau pemanfaatan bahan lokal, juga merupakan contoh konteks lain. Perubahan ini memberikan tekanan kepada desainer, untuk direspons, dengan baik.
Ragam respons
Responsnya pun sangat mungkin beragam. Ada respons yang berangkat dari kesadaran normatif: hasil pembelajaran (learning), baik individual maupun kolektif. Contohnya adalah kesadaran kolektif untuk memberikan perhatian terhadap perubahan iklim yang dimitigasi untuk menjamin masa depan manusia. Arsitek yang tersadar akhirnya menjadikan isu ini menjadi salah satu konsiderans atau bahkan nilai penting dalam mendesain.
Ada juga tekanan yang bersifat memaksa atau koersif. Peraturan yang memaksa dari otoritas atau lembaga superior, seperti Dewan Arsitek Indonesia (DAI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), atau Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia (APTARI), merupakan contohnya. Tekanan seperti ini bersifat membatasi (constraining). Arsitek tidak punya pilihan lain selain mengikutinya, baik dengan suka maupun maupun tidak suka.
Akhirnya, tidak semua pilihan bersifat rasional, meskipun bisa juga keterpaksaan tersebut akhirnya menghadirkan kesadaran. Ini mirip dengan seseorang yang mengampayekan sadar lingkungan di ruang publik, tetapi menjadi perusak ekosistem di tempat lain, yang tersembunyi.
Satu lagi, ada juga tekanan yang direspons secara mimetik, meniru saja tanpa proses pembelajaran yang cukup. Ini mirip dengan proses pengklonaan (cloning). Apa contohnya? Desain yang mengekspos kerangka baja, korden dengan pembagi ruang, atau pilihan warna monokrom yang dipadukan dengan warna aksen, taman di dalam atau di atas gedung, misalnya, bisa jadi tidak selalu mudah dicarikan justifikasinya selain karena menjadi fesyen atau mode untuk merespons selera zaman yang berubah di sebuah konteks.
Fesyen ini akhirnya teramplifikasi di konteks lain, yang bahkan berbeda sama sekali. Ini mirip dengan pembuatan bangunan di daerah tropis yang meniru desain dari wilayah empat musim. Atau, bangunan di Indonesia menyontoh yang didesain untuk daerah gurun. Akhirnya, kita paham bahwa respons terhadap tekanan tidak selalu rasional.
Lensa lain
Sebagai penikmat karya arsitektur, yang bukan arsitek, saya percaya, lensa ini masih relevan untuk digunakan, untuk memotret praktik di lapangan. Itulah mengapa banyak karya arsitek yang serupa dan saling menginspirasi. Lensa tersebut terinspirasi oleh teori institusional rasa Amerika.
Jika ingin menjadi berbeda, pertanyaannya bukan “mengapa banyak karya atau artefak arsitektur serupa”, tetapi “bagaimana supaya karya artektur menjadi berbeda atau bahkan keluar dari pakem yang selama ini ada?”. Jika fokusnya yang kedua, lensa lain perlu digali dan diperkenalkan. Teori institusional rasa Eropa, dapat menjadi salah satu alternatifnya.
Saya percaya bahwa “gaya” yang ditampilkan dalam setiap karya arsitektur ibarat puncak dari gunung es. Ada proses panjang sebelumnya dan banyak konsiderans yang membingkainya. Bagian inilah yang tidak kasat di mata publik.
Karenanya, saya bertanya, apakah mungkin, desain yang partisipatif bisa digaungkan dalam konteks arsitektur? Saya yakin, jawabannya ya. Tetapi, apakah semua arsitek “mengimaninya”: mempercayai dalam hati, mengikrarkan dengan lisan atau tulisan, dan membuktikan dalam praktik nyata? Jika jawabannya ya, pertanyaan lanjutannya: apakah “keimanan” ini dijalankan secara istikamah atau konsisten?
Tujuan pertanyaan ini adalah untuk menyadarkan Saudara supaya arsitek profesional yang inovatif dan sekaligus bertanggung jawab.
Saya membiarkan pertanyaan ini tetap terbuka, untuk direfleksikan oleh semua aristek, terutama arsitek muda, yang hadir saat ini. Mohon maaf, jika pertanyaan ini cenderung menggelitik dan nakal.
Terakhir, saya ingin menitipkan pesan kepada arsitek muda. Saudara dituntut terus untuk mengembangkan kemampuan adaptif dengan tidak lelah dan lengah dalam mengikuti perkembangan serta mengasah sensitivitas untuk meresponsnya.
Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk pencapaiannya. Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah Saudara untuk berkontribusi di dunia nyata.
Sambutan pada Wisuda Profesi dan Janji Arsitek, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia angkatan ke-7 dan ke-8, 23 Desember 2021.
Akhiri 2021, Cilacs UII Terima Kunjungan UNTIDAR Magelang
Lembaga pelatihan bahasa memiliki posisi strategis dalam mengembangkan skill bahasa asing yang dimiliki karyawan maupun dosen. Keterampilan bahasa asing saat ini sangat dibutuhkan, bahkan menjadi syarat utama yang harus dimiliki untuk menghadapi persaingan. Kemajuan teknologi dan pesatnya pembangunan di berbagai bidang semakin memperketat tensi persaingan tersebut.
Read more
Prodi Akuntansi UII Gelar Business & Accounting Competition 2021
Merespon perubahan praktik bisnis dan ekonomi pada era digital pasca pandemi Covid-19, Program Studi (Prodi) Akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FBE UII) menggelar UII Business & Accounting Competition 2021 (UII-BAC 2021). Kompetisi nasional yang diperuntukkan bagi para pelajar dan guru SMA/sederajat dalam skala nasional ini berlangsung secara daring dan luring.
Read more
Alumni Sebagai Aset Berharga Bagi Perguruan Tinggi
Alumni yang berkualitas dan mampu menghasilkan ‘artefak’ akademik guna memecahkan masalah bangsa merupakan aset berharga bagi perguruan tinggi. Ketika hal ini bisa dijamin, perguruan tinggi khususnya Universitas Islam Indonesia (UII) masih punya alasan untuk tetap hidup.
Read more
Artidjo Alkostar, Hadiah dari UII untuk Indonesia
Saat mendengar nama Artidjo Alkostar, maka hal yang akan terlintas dalam benak adalah sosok “Algojo” bagi para koruptor. Ketegasannya begitu ditakuti para koruptor karena Ia tak segan menjatuhkan vonis lebih tinggi bagi para koruptor yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI).
Read more