Selamat atas jabatan akademik tertinggi untuk Prof Suparwoko. Beliau adalah profesor ke-30 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia. Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor adalah 3,8% (30 dari 790 dosen). Secara nasional, persentase profesor baru sekitar 2% dari seluruh dosen di perguruan tinggi.
Izinkan saya mengajak pembaca untuk melakukan refleksi sejenak sebagai seorang ilmuwan atau saintis secara luas.
Kepercayaan terhadap saintis
Awal 2022, tahun lalu, Pew Research Center (2022) di Amerika Serikat menerbitkan sebuah laporan, terkait kepercayaan publik terhadap kelompok dan lembaga. Hasilnya cukup mengejutkan. Kepercayaan publik Amerika Serikat terhadap saintis menurun. Jika pada akhir 2020, sebanyak 39 persen publik sangat percaya terhadap saintis, pada akhir 2022, persentase ini turun menjadi 29%. Sisanya, sebanyak 77% publik cukup percaya dengan saintis, turun dari 84% pada periode sebelumnya. Sisanya, 22% tidak percaya dengan saintis.
Meskipun proporsi yang sangat percaya kepada saintis tidak sangat tinggi, tetapi angka ini jauh lebih besar dibanding tingkat kepercayaan publik kepada kelompok atau lembaga lain. Bandingkan misalnya, hanya 25% yang percaya penuh kepada militer, 20% kepada polisi, 12% kepada pemimpin agama, dan 4% kepada pemimpin bisnis, dan bahkan hanya 2% kepada para pejabat publik atau politisi.
Dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan berfokus pada tingkat kepercayaan kepada saintis. Kita para dosen, apalagi profesor, termasuk di dalamnya.
Bagaimana di Indonesia? Data terkait isu ini pernah dilaporkan oleh Wellcome Global Monitor 2018 (Wellcome, 2029). Dengan skala 4 (sangat percaya), skor indeks kepercayaan terhadap saintis di Amerika Serikat adalah 3,10 alias masuk kategori medium.
Kita cek beberapa negara maju lain: Inggris 3,25, Kanada 3,19, Jerman 3,13, Jepang 3,05. Semua negara maju di Eropa, skornya di atas 3,0.
Skor indeks untuk Indonesia adalah 2,80. Saya coba cek indeks di negara-negara muslim lain. Skor untuk Afganistan 2,81, Pakistan 2,80, Aljazair 2,65. Namun di beberapa negara muslim skornya cukup tinggi, seperti Uni Emirat Arab 3,20 dan Iran 3,19.
Jika kita percaya data indikatif ini valid, maka secara umum, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap saintis masih cukup rendah. Tentu ini bisa dianggap sebagai tantangan.
Pelawan perangai ilmiah
Apa penjelasannya? Salah satunya sangat mungkin terkait dengan perangai ilmiah (scientific temper, scientific attitude) baik di kalangan saintis, maupun publik secara umum.
Perangai ilmiah adalah sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa jawaban atas pertanyaan empiris akan ditemukan tidak pada penghormatan kepada otoritas atau komitmen ideologi, tetapi pada bukti yang dikumpulkan.
Ada dua prinsip dalam konteks ini yang perlu diikuti: (a) kita peduli dengan bukti empiris dan (b) kita mau mengubah teori jika ditemukan bukti baru (McIntyre, 2019). Kebenaran ilmiah adalah kebenaran berdasar data yang terkumpulkan sebagai bukti empiris.
Karenanya, pengingkaran terhadap bukti empiris akan melawan perangai ilmiah. Hal ini bisa terjadi karena (a) kesalahan yang disengaja, (b) kemalasan dan kecerobohan, dan (3) kesalahan yang tidak disengaja karena jebakan bias kognitif.
Pertama, kesalahan yang disengaja termasuk pabrikasi dan falsifikasi data ilmiah. Banyak kasus yang bisa diberikan di sini. Sebagai contoh, di Australia pada 2017 (The State of Queensland, 2017), seorang profesor dan seorang doktor di University of Queensland dituntut secara pidana. Keduanya mengundurkan diri, dan gelar Sang Profesor dicabut.
Proses hukum berlanjut. Sang Profesor didakwa 17 tindak pidana, dan Sang Doktor 7 tindak pidana. Keduanya dihukum dua tahun penjara. University of Queensland pun harus mengembalikan dana riset yang sudah dikucurkan kepada lembaga donor.
Kedua, kemalasan dan kecerobohan dapat terjadi karena beberapa tindakan termasuk memilih data yang sesuai dengan dugaan awal (cherry picking) dan menghilangkan yang tidak sesuai. Atau, memilih data yang sesuai dengan kurva yang diinginkan.
Apa akibatnya? Hasil riset tidak menggambarkan kondisi empiris yang sejati dan kesimpulan yang diambil sangat mungkin tidak valid.
Ketiga, bias kognitif yang mengarahkan kepada kesalahan yang tidak disengaja, termasuk bias konfirmasi (confirmation bias), ketika kita cenderung menerima bukti yang sesuai dengan kepercayaan kita sebelumnya, dan menolak yang sebaliknya.
Daftar perilaku tidak etis lain dapat dilihat pada Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_scientific_misconduct_incidents). Daftar ini merangkum kasus lintasnegara berbagai disiplin yang melibatkan beragam universitas, termasuk universitas bereputasi dunia, seperti Universitas Toronto, Universitas Tokyo, Universitas Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Komunitas kritis
Karena itulah, diperlukan kendali diri untuk menjaga etika ilmiah, karena riset adalah soal kejujuran. Kehadiran komunitas kritis juga diperlukan untuk saling mengontrol supaya tidak tergelincir pada praktik yang tidak etis dalam riset ilmiah.
Hal ini menjadi penting ketika tekanan publikasi semakin meningkat, kompetisi untuk mendapatkan dana hibah riset semakin ketat, dan ketiadaan kontrol yang memadai.
Ada beberapa prinsip yang bisa kita bagi di sini, terkait dengan pentingnya komunitas kritis, yang sering disebut dengan “kebijaksanaan kelompok” (the wisdom of crowds).
Dalam penalaran atau pengambilan keputusan, kelompok lebih baik dibanding dengan individu. Selain itu, interaksi antaranggota kelompok juga penting, karena kelompok yang interaktif lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang sifatnya agregatif (Sunstein, 2006).
Untuk menjadikan kelompok kritis tetap produktif, maka perbedaan pendapat harus dianggap sebagai kewajiban, pemikiran kritis dihargai, dan kehadiran devil’s advocate harus didorong (Sunstein, 2006). Devil’s advocate adalah orang yang biasanya mengemukakan pendapat yang tidak populer atau membantah sebuah ide yang ada, bukan karena tidak setuju dengan isi argumen malah hanya ingin menguji validitas ide dan argumen.
Karenanya, kehadiran kelompok menjadi berpengaruh jika setiap anggota kelompok menjadi pemikir merdeka dan mempunyai keragaman perspektif (Surowiecki, 2005).
Tulisan singkat ini hanya pemantik diskusi terkait dengan pentingnya merawat perangai ilmiah dengan tetap patuh terhadap etika ilmiah. Salah satu ujungnya adalah sains yang lebih berkualitas dan kepercayaan publik kepada sains dan saintis yang membaik.
Saya harus berhenti di sini dan membiarkan pembaca melanjutkan diskusi baik secara mandiri (solilokui) maupun dengan kawan lain.
Sekali lagi selamat untuk Prof Suparwoko. Juga kepada keluarga Prof Suparwoko. Saya yakin, di sana ada istri yang selalu mendorong. Dan, juga anak-anak, sebagai permata hati dan sumber semangat. Semoga jabatan ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas.
Sambutan pada acara serah terima surat keputusan pengangkatan profesor atas nama Ir. Suparwoko, M.U.R.P., Ph.D. pada 13 April 2023
Referensi
McIntyre, L. (2019). The scientific attitude: Defending science from denial, fraud, and pseudoscience. MIT Press.
Pew Research Center (2022). Americans’ trust in scientists, other groups declines. Tersedia daring: https://www.pewresearch.org/science/2022/02/15/americans-trust-in-scientists-other-groups-declines/
Sunstein, C. R. (2006). Infotopia: How many minds produce knowledge. Oxford University Press.
Surowiecki, J. (2005). The wisdom of crowds. Anchor.
The State of Queensland (2017). Australia’s first criminal prosecution for research fraud: A case study from The University of Queensland. Tersedia daring: https://services.anu.edu.au/files/guidance/Australias-first-criminal-prosecution-for-research-fraud-final.pdf
Wellcome (2019). Wellcome Global Monitor 2018. Tersedia daring: https://wellcome.org/sites/default/files/wellcome-global-monitor-2018.pdf
Kemajuan Teknologi Untuk Peningkatan Mutu Pendidikan Farmasi
Bidang Kesehatan menjadi salah satu dimensi yang semakin banyak tersentuh oleh perkembangan teknologi dari hari ke hari. Untuk itu, peningkatan mutu dan kualitas pendidikan kesehatan khususnya dalam bidang farmasi juga berbanding lurus dengan peningkatan keahlian dan penguasaan teknologi oleh para pendidiknya.
Menyikapi fenomena tersebut, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) bekerja sama dengan PT. Andaru Persada Mandiri mengadakan Workshop Penguatan Mutu Perguruan Tinggi Farmasi se-Indonesia yang diselenggarakan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (10/05).
Read more
APTFI dan Jurusan Farmasi UII Gelar Workshop Pelatihan Preseptor
Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) mengadakan workshop Evaluasi dan Pelatihan Preseptor. Workshop yang digelar di Ruang Auditorium Fakultas Hukum (FH) UII pada Rabu (10/5) tersebut turut dihadiri oleh Ketua Jurusan Farmasi, Prof. Dr. apt. Yandi Syukri, M.Si dan Ketua APTFI Prof. Dr. apt. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc.
Pada sesi materi, Farmasi UII menghadirkan Prof. Dr. apt. Umi Athiyah, MS., dan Prof. Dr. apt. Agung Endro Nugroho, M.Si., sebagai narasumber sesi “Workshop Evaluasi Pelatihan Preseptor”.
Read more
Merayakan Syawal dengan Silaturahmi dan Saling Memaafkan
Dalam rangka mempererat tali silaturahmi, Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan acara Halalbihalal dan Pelepasan Jamaah Calon Haji 1444 H yang diadakan secara luring di Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir pada Rabu (02/05). Acara tersebut dihadiri segenap keluarga besar UII dan perwakilan mitra. Tujuan diadakannya acara Halalbihalal tersebut adalah sebagai sarana untuk berkumpul dan silaturahmi keluarga besar UII sembari mendoakan calon jamaah haji yang akan berangkat di tahun ini. Calon jamaah haji merupakan perwakilan dari beberapa fakultas yang ada di UII.
Read more
Cilacs UII Fasilitasi Kegiatan Peduli Lingkungan Bersama Kedubes Amerika Serikat
Center for International Language and Cultural Studies Universitas Islam Indonesia (Cilacs UII) mendapatkan kepercayaan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia untuk menjadi tempat pelaksanaan Earth Optimism for Access (EOA). Program yang digelar bersama the Indonesian International Education Foundation (IIEF) itu juga melibatkan para alumni Program Access Microscholarship Bahasa Inggris. EOA bertujuan menggugah semangat masyarakat dunia untuk menjaga lingkungan di sekelilingnya dengan harapan bisa membawa efek secara internasional.
Read more
Mengharukan, Santri Pondok Pesantren UII Lolos Seleksi IISMA
Yogyakarta, 17 April 2023 – Indonesian International Student Mobility Award atau yang biasa kita kenal sebagai IISMA merupakan program pertukaran pelajar dengan beasiswa yang diadakan oleh Kemendikbudristek RI. Dalam mengikuti program IISMA, banyak sekali mahasiswa yang mengikuti seleksi pendaftaran IISMA, diantaranya adalah beberapa santri Pondok Pesantren UII. Tahapan pendaftaran yang diikuti dapat dibilang rumit karena proses seleksi yang panjang, mulai dari seleksi administrasi, seleksi wawancara hingga pengumuman akhir kelulusan. Adapun nantinya jika mahasiswa dapat lolos seleksi wawancara maka ia dapat mendapatkan kesempatan berkuliah selama satu semester di beberapa universitas ternama di luar negeri, tentunya dengan beasiswa penuh. Read more
Mengurai Kode Etik Dokter Dari Sudut Pandang Etika Hamba
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) terus berupaya meningkatkan kedisiplinan dalam praktik medis yang sesuai dengan kode etik kedokteran. Upaya tersebut diwujudkan dalam seminar yang bertemakan ‘’Penguatan Etika Medis/Bioetik Berbasis Etika Hamba” yang diadakan pada Sabtu (15/4) melalui kanal Zoom Meeting dan YouTube. Acara seminar ini digagas oleh Pusat Studi Bioetik dan Hukum Kedokteran Islam FK UII. Pusat studi ini rutin melakukan kajian terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan etik dan hukum kedokteran termasuk dengan ulasan mengenai RUU kesehatan.
Read more
Pesantren Ramadan 1444 H UII: Meneladani Jejak Kebaikan K.H. Abdul Halim
Bulan Ramadan merupakan momentum peningkatan kualitas iman dan takwa. Untuk meningkatkan semangat keagamaan ini, Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Pesantren Ramadan 1444 H pada Jumat (14/04) di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir bagi pejabat struktural dan pegawai di lingkungan Rektorat UII.
Dalam sambutannya, Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M. Sc., Ph.D. mengajak hadirin menoleh sejenak ke belakang untuk melihat kembali nilai-nilai yang diajarkan, diyakini dan diamalkan oleh para pendiri UII.
Read more
UII Tambah Profesor Bidang Ilmu Pengantar Rancang Kota
Ir. Suparwoko, MURP., Ph.D resmi menyandang gelar jabatan akademik profesor dalam bidang ilmu Pengantar Rancang Kota berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 18374/M/07/2023. Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) tentang Penyerahan Jabatan Profesor dibacakan langsung pada Rabu (12/04) di Gedung Kuliah Umum Prof. dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.
Keberhasilan Suparwoko meraih gelar profesor ini diharapkan mampu memberikan daya dorong bagi 8 dosen lain di UII yang sedang mengikuti program percepatan profesor yang usulannya telah diproses baik di fakultas/universitas/LLDikti.
Read more
Merawat Perangai Ilmiah
Selamat atas jabatan akademik tertinggi untuk Prof Suparwoko. Beliau adalah profesor ke-30 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia. Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor adalah 3,8% (30 dari 790 dosen). Secara nasional, persentase profesor baru sekitar 2% dari seluruh dosen di perguruan tinggi.
Izinkan saya mengajak pembaca untuk melakukan refleksi sejenak sebagai seorang ilmuwan atau saintis secara luas.
Kepercayaan terhadap saintis
Awal 2022, tahun lalu, Pew Research Center (2022) di Amerika Serikat menerbitkan sebuah laporan, terkait kepercayaan publik terhadap kelompok dan lembaga. Hasilnya cukup mengejutkan. Kepercayaan publik Amerika Serikat terhadap saintis menurun. Jika pada akhir 2020, sebanyak 39 persen publik sangat percaya terhadap saintis, pada akhir 2022, persentase ini turun menjadi 29%. Sisanya, sebanyak 77% publik cukup percaya dengan saintis, turun dari 84% pada periode sebelumnya. Sisanya, 22% tidak percaya dengan saintis.
Meskipun proporsi yang sangat percaya kepada saintis tidak sangat tinggi, tetapi angka ini jauh lebih besar dibanding tingkat kepercayaan publik kepada kelompok atau lembaga lain. Bandingkan misalnya, hanya 25% yang percaya penuh kepada militer, 20% kepada polisi, 12% kepada pemimpin agama, dan 4% kepada pemimpin bisnis, dan bahkan hanya 2% kepada para pejabat publik atau politisi.
Dalam tulisan singkat ini, saya hanya akan berfokus pada tingkat kepercayaan kepada saintis. Kita para dosen, apalagi profesor, termasuk di dalamnya.
Bagaimana di Indonesia? Data terkait isu ini pernah dilaporkan oleh Wellcome Global Monitor 2018 (Wellcome, 2029). Dengan skala 4 (sangat percaya), skor indeks kepercayaan terhadap saintis di Amerika Serikat adalah 3,10 alias masuk kategori medium.
Kita cek beberapa negara maju lain: Inggris 3,25, Kanada 3,19, Jerman 3,13, Jepang 3,05. Semua negara maju di Eropa, skornya di atas 3,0.
Skor indeks untuk Indonesia adalah 2,80. Saya coba cek indeks di negara-negara muslim lain. Skor untuk Afganistan 2,81, Pakistan 2,80, Aljazair 2,65. Namun di beberapa negara muslim skornya cukup tinggi, seperti Uni Emirat Arab 3,20 dan Iran 3,19.
Jika kita percaya data indikatif ini valid, maka secara umum, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap saintis masih cukup rendah. Tentu ini bisa dianggap sebagai tantangan.
Pelawan perangai ilmiah
Apa penjelasannya? Salah satunya sangat mungkin terkait dengan perangai ilmiah (scientific temper, scientific attitude) baik di kalangan saintis, maupun publik secara umum.
Perangai ilmiah adalah sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa jawaban atas pertanyaan empiris akan ditemukan tidak pada penghormatan kepada otoritas atau komitmen ideologi, tetapi pada bukti yang dikumpulkan.
Ada dua prinsip dalam konteks ini yang perlu diikuti: (a) kita peduli dengan bukti empiris dan (b) kita mau mengubah teori jika ditemukan bukti baru (McIntyre, 2019). Kebenaran ilmiah adalah kebenaran berdasar data yang terkumpulkan sebagai bukti empiris.
Karenanya, pengingkaran terhadap bukti empiris akan melawan perangai ilmiah. Hal ini bisa terjadi karena (a) kesalahan yang disengaja, (b) kemalasan dan kecerobohan, dan (3) kesalahan yang tidak disengaja karena jebakan bias kognitif.
Pertama, kesalahan yang disengaja termasuk pabrikasi dan falsifikasi data ilmiah. Banyak kasus yang bisa diberikan di sini. Sebagai contoh, di Australia pada 2017 (The State of Queensland, 2017), seorang profesor dan seorang doktor di University of Queensland dituntut secara pidana. Keduanya mengundurkan diri, dan gelar Sang Profesor dicabut.
Proses hukum berlanjut. Sang Profesor didakwa 17 tindak pidana, dan Sang Doktor 7 tindak pidana. Keduanya dihukum dua tahun penjara. University of Queensland pun harus mengembalikan dana riset yang sudah dikucurkan kepada lembaga donor.
Kedua, kemalasan dan kecerobohan dapat terjadi karena beberapa tindakan termasuk memilih data yang sesuai dengan dugaan awal (cherry picking) dan menghilangkan yang tidak sesuai. Atau, memilih data yang sesuai dengan kurva yang diinginkan.
Apa akibatnya? Hasil riset tidak menggambarkan kondisi empiris yang sejati dan kesimpulan yang diambil sangat mungkin tidak valid.
Ketiga, bias kognitif yang mengarahkan kepada kesalahan yang tidak disengaja, termasuk bias konfirmasi (confirmation bias), ketika kita cenderung menerima bukti yang sesuai dengan kepercayaan kita sebelumnya, dan menolak yang sebaliknya.
Daftar perilaku tidak etis lain dapat dilihat pada Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_scientific_misconduct_incidents). Daftar ini merangkum kasus lintasnegara berbagai disiplin yang melibatkan beragam universitas, termasuk universitas bereputasi dunia, seperti Universitas Toronto, Universitas Tokyo, Universitas Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Komunitas kritis
Karena itulah, diperlukan kendali diri untuk menjaga etika ilmiah, karena riset adalah soal kejujuran. Kehadiran komunitas kritis juga diperlukan untuk saling mengontrol supaya tidak tergelincir pada praktik yang tidak etis dalam riset ilmiah.
Hal ini menjadi penting ketika tekanan publikasi semakin meningkat, kompetisi untuk mendapatkan dana hibah riset semakin ketat, dan ketiadaan kontrol yang memadai.
Ada beberapa prinsip yang bisa kita bagi di sini, terkait dengan pentingnya komunitas kritis, yang sering disebut dengan “kebijaksanaan kelompok” (the wisdom of crowds).
Dalam penalaran atau pengambilan keputusan, kelompok lebih baik dibanding dengan individu. Selain itu, interaksi antaranggota kelompok juga penting, karena kelompok yang interaktif lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang sifatnya agregatif (Sunstein, 2006).
Untuk menjadikan kelompok kritis tetap produktif, maka perbedaan pendapat harus dianggap sebagai kewajiban, pemikiran kritis dihargai, dan kehadiran devil’s advocate harus didorong (Sunstein, 2006). Devil’s advocate adalah orang yang biasanya mengemukakan pendapat yang tidak populer atau membantah sebuah ide yang ada, bukan karena tidak setuju dengan isi argumen malah hanya ingin menguji validitas ide dan argumen.
Karenanya, kehadiran kelompok menjadi berpengaruh jika setiap anggota kelompok menjadi pemikir merdeka dan mempunyai keragaman perspektif (Surowiecki, 2005).
Tulisan singkat ini hanya pemantik diskusi terkait dengan pentingnya merawat perangai ilmiah dengan tetap patuh terhadap etika ilmiah. Salah satu ujungnya adalah sains yang lebih berkualitas dan kepercayaan publik kepada sains dan saintis yang membaik.
Saya harus berhenti di sini dan membiarkan pembaca melanjutkan diskusi baik secara mandiri (solilokui) maupun dengan kawan lain.
Sekali lagi selamat untuk Prof Suparwoko. Juga kepada keluarga Prof Suparwoko. Saya yakin, di sana ada istri yang selalu mendorong. Dan, juga anak-anak, sebagai permata hati dan sumber semangat. Semoga jabatan ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas.
Sambutan pada acara serah terima surat keputusan pengangkatan profesor atas nama Ir. Suparwoko, M.U.R.P., Ph.D. pada 13 April 2023
Referensi
McIntyre, L. (2019). The scientific attitude: Defending science from denial, fraud, and pseudoscience. MIT Press.
Pew Research Center (2022). Americans’ trust in scientists, other groups declines. Tersedia daring: https://www.pewresearch.org/science/2022/02/15/americans-trust-in-scientists-other-groups-declines/
Sunstein, C. R. (2006). Infotopia: How many minds produce knowledge. Oxford University Press.
Surowiecki, J. (2005). The wisdom of crowds. Anchor.
The State of Queensland (2017). Australia’s first criminal prosecution for research fraud: A case study from The University of Queensland. Tersedia daring: https://services.anu.edu.au/files/guidance/Australias-first-criminal-prosecution-for-research-fraud-final.pdf
Wellcome (2019). Wellcome Global Monitor 2018. Tersedia daring: https://wellcome.org/sites/default/files/wellcome-global-monitor-2018.pdf
Grand Opening Semarak Iktikaf UII, Upaya Maksimalkan 10 Hari Terakhir Ramadan
Bagi umat Islam, malam lailatul qadar di 10 hari terakhir bulan suci Ramadan adalah momen paling ditunggu-tunggu kedatangannya. Lailatul qadar merupakan malam diturunkannya Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw sehingga menjadi waktu yang tepat untuk memuliakan kitab suci ini. Pada malam inilah Allah membuka selebar-lebarnya pintu ampunan bagi siapa saja yang meminta ampun kepada-Nya. Sehingga, guna memaksimalkan amalan yang terbaik di 10 hari terakhir Ramadan ini, banyak umat Islam yang melaksanakan i’tikaf, atau berdiam diri di dalam masjid. Mereka memperbanyak muhasabah diri dengan memperbanyak zikir, membaca tasbih, tafakkur (merenung), dan memperbanyak membaca Al-Quran.
Read more