Saudara, asahlah terus kualitas diri untuk pemimpin. UII sejak berdirinya ditujukan untuk menghasilkan para pemimpin bangsa.

Pada dasarnya semua dari kita adalah pemimpin. Rasulullah menggunakan metafora penggembala dalam menyebut pemimpin. Kata Rasulullah, “Kamu sekalian adalah penggembala, dan setiap penggembala akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya”.

Kita sering mendengar bahwa masa depan, akan ditandai, dua di antaranya oleh perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang luar biasa dan Internet segala rupa (Internet of things). Tidak sulit untuk mempercayainya, karena hari ini pun kita telah menjadi saksi perkembangannya. Korbannya pun sudah berjatuhan, termasuk tergerusnya beberapa lapangan pekerjaan.

 

Kualitas pemimpin

Apakah ini berarti mengancam keberadaan manusia sebagai pemimpin? Jawabannya, bisa ya, dapat tidak. Atau, pertanyaan yang lebih tepat dan optimistik adalah: kualitas diri seperti apa yang harus dikembangkan untuk menjadi pemimpin masa depan? Banyak teori atau konsep yang dikembangkan dan beredar.

Saya ingin meringkasnya di sini menjadi dua: kreativitas (creativity) dan kasih sayang (compassion).

Kreativitas adalah tentang bagaimana melihat sesuatu dari perspektif baru. Kita dituntut mempunyai kapasitas menghubungkan titik-titik yang bahkan dalam pandangan pertama tidak relevan. Titik-titik tersebut dapat berupa pengetahuan, pengalaman, teknologi, konsep, komponen, atau aktor masa lampau yang sudah kita ketahui atau pelajari. Kreativitas sejatinya tidak berada dalam ruang kosong yang bebas dari masa lalu.

Kita hari ini merupakan dampak dari pilihan-pilihan kita di masa lampau. Kreativitas yang berujung pada inovasi yang dapat diterima oleh banyak orang akan mempercepat perubahan yang kita inginkan di masa depan. Inilah tugas utama pemimpin: membuat perubahan menuju ke arah yang lebih baik.

Perubahan yang permanen tidak mungkin dijalankan seorang diri. Pemimpin harus menggerakkan orang lain. Di sinilah, diperlukan kemampuan untuk menunjukkan kasih sayang. Pemimpin dituntut mengajak orang lain bergerak bersama.

Gerak bersama yang paling indah adalah yang dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Dan itu, tampaknya sulit tanpa atmosfer kasih sayang yang kuat: saling percaya, saling memahami, saling menghormati, dan saling mengapresiasi. Di sinilah diperlukannya memimpin dengan hati.

Jonathan Raymond (2026) dalam bukunya yang berjudul Good Authority, menuliskan bahwa tantangan terbesar dalam memimpin adalah bagaimana menunjukkan bahwa diri warga organisasi, termasuk pimpinan, berharga dan kredibel di mata orang lain. Untuk itu dibutuhkan penciptaan ruang yang membuat setiap warga organisasi dapat melihat nilai yang dia dapat kontribusikan.

Bagi Raymond (2016), otoritas yang baik, yang dimiliki oleh pemimpin, bukan yang memberikan tekanan berlebihan, tapi justru yang memberikan ruang kepada warga organisasi untuk menemukan arti kehadiran dirinya di organisasi. Jika ini terjadi, maka semua warga organisasi akan menjadi makhluk dewasa yang bergerak bersama dengan sepenuh hati, yang dilingkupi dengan kasih sayang, antar sesamanya. Pemimpin menunjukkan rasa sayang kepada yang dipimpin, dan sebaliknya. Hal ini akan membentuk iklim organisasi yang sehat. Kolaborasi, misalnya, tidak mungkin tanpa ini.

 

Sadar peran

Saya tidak akan mengelaborasi konsep ini lebih mendalam. Namun satu hal yang pasti, dalam konteks relasi, setiap dari ini akan bertindak sebagai pemimpin (leader) atau pengikut (follower). Seorang pengikut dalam konteks lain juga menjadi pemimpin. Karenanya, kita harus sadar peran.

Kesadaran ini juga mewujud dengan perasaan suka cita menerima penugasan yang diberikan oleh organisasi. Pemimpin dalam mengambil keputusan tak jarang mempertimbangkan lebih banyak variabel dibandingkan dengan yang digunakan oleh setiap individu atau kelompok dalam organisasi.

K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), dalam pengajian Jumat pagi beberapa tahun silam di Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang memberikan metafora terkait hubungan pemimpin-pengikut, yang kira-kira terjemahan dari aslinya yang dalam bahasa Jawa sebagai berikut:

“Jadi orang itu harus sadar peran. Kalau jadi imam, ya paham jemaahnya. Kalau milih bacaan jangan panjang-panjang, karena mungkin ada yang sudah sepuh atau mempunyai tugas lain yang menunggu ditunaikan. Begitu juga ketika jadi makmum. Hormati dan ikuti imam. Kalau imam sudah rukuk ya ikut rukuk, jika bangun dari sujud ya ikut. Jangan imam sudah bangun, malah baru mulai sujud.” 

Lagi-lagi, tanpa rasa sayang yang memungkinkan kita tergerak memahami orang lain, tampaknya mustahil pemahaman ini akan muncul.

Kreativitas dan kasih sayang, merupakan dua hal yang sampai hari ini, manusia masih menjadi juaranya.

 

Referensi

Raymond, J. (2016). Good authority: How to become the leader your team is waiting for. IdeaPress.

Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 30 Juli 2023.

Dalam rangka memperluas tebaran manfaat kepada masyarakat, Laboratorium Mahasiswa (LABMA) di bawah naungan Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (DPK UII) mengadakan kegiatan Pengabdian Masyarakat di luar pulau Jawa. Kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk media pengaplikasian disiplin ilmu mahasiswa selain Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Acara pelepasan mahasiswa berlangsung di Ruang Erasmus Gedung Rektorat GBPH Prabuningrat UII pada Jumat (28/7) dengan dihadiri oleh Kepala Pusat KKN UII, dr. Raden Edi Fitriyanto, M.Gizi., Direktur DPK UII, Beni Suranto, S.T., M.Soft.Eng., Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), Arif Fajar Wibisono, S.E., M.Sc., serta sepuluh orang anggota unit Pengabdian Masyarakat LABMA UII dengan format lima orang putra dan lima orang putri dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu.

Read more

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (PSHI UII) mengadakan kuliah umum bertajuk “Memahami Konflik Sudan dari Perspektif Diplomat Indonesia”. Acara diadakan di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII, pada Jumat (28/7). Pembicara yang dihadirkan yakni Drs. Burhanuddin Badruzzaman, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Republik Sudan dan Republik Eritrea 2014 (Maret) – 2017 (November). Kegiatan ini juga turut dihadiri oleh Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII, Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi.,M.Si. Psikolog, serta segenap dosen dan mahasiswa/i PSHI UII.

Read more

Program Studi Profesi Arsitek (PPAr), Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) menggelar Sumpah Keprofesian Arsitek Angkatan ke-11 Tahun Akademik 2022/2023. Acara yang berlangsung di Auditorium FTSP UII pada Sabtu siang (29/7) itu diikuti oleh 19 arsitek baru, para orangtua lulusan, pimpinan fakultas & prodi, serta perwakilan organisasi profesi dan asosiasi pendidikan tinggi arsitek.

Read more

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia (DPPM UII) menggelar acara pelepasan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 67 tahun akademik 2023/2024 pada Kamis (27/07). Acara yang diselenggarakan di halaman Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Kampus Terpadu UII, Yogyakarta, dihadiri langsung oleh pimpinan universitas sekaligus seluruh perwakilan mahasiswa dari unit KKN masing-masing. Dengan waktu pelaksanaan KKN Reguler selama kurang lebih satu bulan, seluruh mahasiswa secara resmi dinyatakan memulai kegiatan KKN pada 1 Agustus-1 September 2023.

Read more

Selalu asah dan tambah kecakapan Saudara. Apa yang sudah Saudara kuasai sampai hari ini, insyaallah akan menjadi modal awal untuk berkontribusi dengan beragam peran. Tapi ingat, lingkungan berubah, tuntutan bertambah.

Sangat mungkin, suatu saat di masa depan yang tidak terlalu jauh, kecakapan yang kita punya akan tidak relevan lagi. Meski demikian, jangan sampai Saudara mengganggap masa depan itu mengerikan. Selama kita menjadi pembelajar sejati, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.

Lepas dari jebakan

Banyak dari kita merasa cukup dengan apa yang sudah diketahui. Karenanya, mereka lupa untuk terus belajar. Saya khawatir ‘mereka’ ini termasuk ‘kita’. Adam Grant (2021) dalam bukunya Think Again memberikan beberapa resep untuk tidak terjerat pada jebakan ini. Berikut beberapa di antaranya.

Pertama, kita harus berani berpikir ulang (rethinking) dan melupakan pelajaran lama (unlearning). Berpikir ulang dapat dilakukan dengan mengubah perspektif kita, mempertimbangkan informasi baru, dan bersedia mengambil kesimpulan, solusi, atau sudut pandang yang berbeda.

Seringkali apa yang sudah kita pelajari di masa lampau juga perlu dilupakan. Perspektif lama sangat mungkin tidak relevan lagi. Kita juga bisa menemukan kelemahan pelajaran yang kita dapatkan karena sumber yang tidak terpercaya, menemukan bukti baru, ada masalah ketika dijalankan, atau karena refleksi mendalam kita sendiri. Ini mirip dengan meninggalkan amalan yang selama ini kita lakukan, karena ternyata berdasar hadis palsu.

Menyiapkan diri menerima hal baru ibarat mengosongkan sebagian isi teh cangkir kita, supaya teh yang lebih hanya bisa dituang ke dalamnya. Selama kita merapa sudah paripurna, maka informasi baru tidak akan pernah dihargai dan mendapatkan tempat.

Kedua, berpikir ulang terus menerus adalah budaya saintis. Kita harus berpikir seperti saintis, bahkan meskipun peran kita ke depan bukanlah seorang saintis. Seorang saintis mempunyai pertanyaan, mempertimbangkan bukti, tidak terjebak pada asumsi, dan mengujinya dengan seksama. Seorang saintis cenderung selalu skeptis, tidak mudah percaya dengan banyak hal yang tanpa didasari argumen dan bukti.

Mengapa hoaks bisa menyebar dengan cepat? Salah satunya adalah karena banyak pengguna media sosial tidak berpikir seperti saintis, bahkan di kalangan saintis. Kesadaran harus dijaga, karena profesor pun kadang lupa kalau dia seorang saintis.

Grant (2021) dalam bukunya memberikan pembeda ekstrim antara sebagai saintis, penceramah, jaksa penuntut, dan politisi. Seorang penceramah selalu mencoba meyakinkan orang lain bahwa mereka benar. Seorang jaksa senantiasa berusaha membuktikan bahwa orang lain salah. Seorang politisi terus berjuang memenangkan hati konstituennya. Seorang saintis mendasarkan keyakinannya pada argumen yang disertai bukti dan selalu terbuka dengan teori baru (McIntyre, 2019). Tentu, kita bisa diskusikan perbedaan ini, karena saat ini, semuanya sangat mungkin saling beririsan.

Keempat, kita dituntut dapat membedakan antara budaya kinerja (culture of performance) dan budaya pembelajaran (culture of learning). Yang pertama mengedepankan hasil, prestasi, atribusi, dan pengakuan. Budaya ini, jika disalahpamahi dapat melemahkan pembelajaran dan perbaikan, menyembunyikan kesalahan, dan menoleranasi praktik tidak etis.

Sebagai ilustrasi, ketika menjadi juara kelas adalah tujuan dan segala-galanya, dan bukan dianggap sebagai dampak karena menyelesaikan pekerjaan rumah dan ujian dengan baik, maka tidak jarang banyak godaan untuk menghalalkan semua cara termasuk berbuat curang dan menghinakan orang lain.

Dalam budaya pembelajaran, kita bisa saling tidak sepakat tanpa rasa khawatir. Kalaupun ada konflik, kita tidak membingkainya sebagai konflik hubungan (relationship conflict), tetapi sebagai konflik tugas (task conflict).

Konflik hubungan melibatkan orang yang terlibat, siapa yang benar, kompeten, bermoral, peduli, dan sebagainya. Konflik ini biasanya menghambat kemajuan. Konflik tugas adalah tentang masalah, tantangan, dan situasi. Konflik ini justru memantik pelajaran dan tilikan baru, mendorong pemecahan masalah, dan menumbuhkan inovasi.

 

Menyukuri ketidaktahuan

Untuk menjamin relevansi keberadaan Saudara dan untuk memastikan kontribusi terbaik, pilihannya tidak banyak. Salah satunya adalah dengan terus belajar. Dari beragam sumber, dengan berbagai cara.

Untuk menjaga adaptabilitas dalam menghadapi masa depan, kita sudah seharusnya bersyukur jika mengetahui apa yang belum kita ketahui dan bukan malah malu. Hanya dengan demikian, kita akan terus berpikir ulang dan belajar. Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati.

 

Referensi

McIntyre, L. (2019). The scientific attitude: Defending science from denial, fraud, and pseudoscience. MIT Press.

Grant, A. (2021). Think again: The power of knowing what you don’t know. Penguin.

Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia pada 29 Juli 2023

Program Studi (Prodi) Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhsiyah) Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga dan Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam (ADHKI) Indonesia mengadakan Konferensi Internasional Hukum Keluarga Islam yang ke-3. Acara bernama The Third International Conference on Islamic Family Law (3rd ICoIFL 2023) ini mengusung tema “Navigating Islamic Family Law and Humanity Issues in The Digital Era”. Acara digelar pada Rabu (26/7) di Gedung K.H.A. Wahid Hasyim Lantai 5 Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII. Acara dihadiri para praktisi dan pakar hukum keluarga Islam dari berbagai perguruan tinggi.

Read more

Direktorat Sumber Daya Manusia/Sekolah Kepemimpinan Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan mancakrida bagi peserta sekolah kepemimpinan yang terdiri dari calon tenaga pendidik dan calon tenaga kependidikan periode 2023. Acara berlangsung pada Sabtu (22/7) di Kopeng Treetop, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Mancakrida ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan sekolah kepemimpinan yang telah diikuti peserta selama satu bulan.

Read more

Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan pelepasan mahasiswa peserta program mobilitas internasional pada Jumat (21/7) di Ruang Audiovisual, Gedung Perpustakaan Pusat UII. Acara ini diselenggarakan dalam rangka melepas 39 mahasiswa UII penerima beasiswa IISMA, IISMA Co Founding, ICT, SEA-Teacher, dan MOSMA 2023.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan pesannya untuk tetap rendah hati. “Bersyukur anda adalah manusia-manusia pilihan, tetapi di sisi lain bukan berarti punya hak untuk sombong, bersyukur tapi tetap tawaquf,” ujar Prof. Fathul Wahid.

Read more

Tema yang dipilih untuk acara diskusi publik ini adalah “membumikan sains untuk publik”. Pilihan bingkai ini bukan tanpa alasan.

Saya termasuk yang percaya bahwa perguruan tinggi yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) dan The Conversation Indonesia berbagi misi yang sama: mengedukasi publik. Terima kasih Aptisi sampaikan kepada The Conversation Indonesia.

 

Tiga alasan

Paling tidak terdapat tiga alasan mengapa acara ini dihelat. Semuanya berawal sebuah kegalauan, yang saya harapkan menjadi kegalauan kolektif warga kampus di Indonesia.

Saya mengajak para kolega akademisi untuk ikut galau, meski saya sadar sepenuhnya sudah banyak kegalauan yang lain. Namun, isu ini tidak boleh dipandang sebelah mata sebagai bagian tanggung jawab moral warga kampus.

Beberapa fakta yang menjadi alasan berikut, juga terbuka untuk didiskusikan. Syaratnya dua: mau jujur dan berani menerima fakta brutal yang pahit.

Pertama, keasyikan para ilmuwan di dunianya sendiri. Tidak jarang bahkan ilmuwan sudah tidak peduli dengan manfaat dari ilmu yang ditekuni dan dikembangkannya. Mereka terlalu asyik dengan dunianya sendiri.

Tekanan yang demikian hebat, telah membuat sebagian dari ilmuwan melempar handuk tanda menyerah, dan mengarahkan energinya untuk aktivitas penggugur kewajiban dan berorientasi jangka pendek, tanpa memasukkan publik dalam radarnya. Ilmu untuk ilmu semata, dan bukan untuk kesejahteraan manusia.

Kedua, kepercayaan kepada ilmu dan ilmuwan yang turun. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap ilmuwan menurun. Pada awal 2022, hanya 29 persen responden yang masih sangat percaya dengan ilmuwan. Angka ini turun dari 40% di akhir 2020, dan 35% di awal 2019.

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada informasi serupa. Namun, apa pendapat kita ketika, misalnya, terdapat fenomena rakyat berbondong-bondong mendapatkan pengobatan dari seorang anak kecil yang menemukan ‘batu bertuah’. Atau, ketika awal pandemi, potensi bahaya Covid-19 menjadi olok-olok di sebagian masyarakat dan bahkan di kalangan sebagian pejabat.

Ketiga, jebakan neoliberalisme terhadap warga kampus dalam berpikir dan bertindak. Merebaknya kebijakan dan praktik yang didasari pada pendekatan neoliberalisme telah menjadikan kampus dan dosen cenderung pragmatis. Idealisme menjadi luntur.

Apa yang tidak mendatangkan manfaat langsung terhadap penilaian pihak luar terhadap institusi atau karier dosen sering kali mendapatkan prioritas buncit. Menulis di kanal populer, misalnya, dianggap tidak penting. Hal ini diamplifikasi dengan penghargaan yang minimal di mata kampus dan negara.

 

Tiga ajakan

Tentu, daftar alasan di atas terbuka untuk ditambah. Berangkat dari fakta pahit di atas, melalui acara ini, saya mengajak akademisi Indonesia untuk membangun kesadaran kolektif.

Pertama, merawat perangai ilmiah. Ajakan ini valid untuk warga kampus dan juga publik. Tidak semua warga kampus punya kesadaran untuk merawat perangai ilmiah (yang ditandai dengan penghargaan terhadap data pendukung dan keterbukaan terhadap teori baru). Absennya skeptisisme dan mudah percaya tanda validasi atau tabayun adalah contoh sikap yang tidak mendukung perangai ilmiah. Sikap bebal tidak mau menerima ide baru dengan argumentasi kuat juga indikator yang anti perangai ilmiah.

Kedua, menjaga idealisme kampus. Publik menggantungkan banyak harapan kepada warga kampus. Kampus karenanya menjadi penting menjaga idealisme sangat penting. Tanpanya, kampus bisa terjerumus ke dalam narasi dan praktik yang sering kali harus bertentangan dengan nurani.

Kalau soal alasan pembenar, semua bisa dengan mudah diproduksi. Ini soal memegang nilai-nilai. Kalau pun sebuah sikap dan tindakan tidak menjadi pilihan, bukan berarti nilai yang dipegangnya menjadi salah. Yang mengerikan, jika ini terjadi, sangat mungkin, penghargaan kepada akal sehat dan bukti saintifik juga sudah tidak menjadi pilihan warga kampus.

Ketiga, menjadi intelektual publik. Kelompok ini semakin sulit kita temukan di lapangan, padahal publik membutuhkan lentera untuk banyak kegelapan yang memaparnya. Sains tidak hanya untuk kalangan ilmiah, tetapi juga untuk publik. Karenanya membumikan sains menjadi sangat penting.

Kondisi ini diperparah dengan semakin sulitnya menyaring informasi yang valid dan tidak. Selain itu, aspirasi publik juga perlu dibantu untuk dilantangkan, sebagai bukti sensitivitas warga kampus terkait dengan persoalan bangsa. Justifikasi saintifik bisa membantu semua pilihan sikap.

Saya sadar, pilihan sikap ini merupakan jalan lengang. Tidak banyak yang memilih jalan ini. Tapi, kita tidak boleh menyerah dan harus terus menjaga nyala api semangat ini. Alhamdulillah, The Conversation Indonesia berkenan menemani kita.

Sambutan pembuka diskusi publik “membumikan sains untuk publik” kerja sama antara Aptisi Pusat dan The Conversation Indonesia, 20 Juli 2023.