Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) menawarkan studi lanjut strata-2 (S-2) Magister Arsitektur dan Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) bagi calon wisudawan pada acara bertajuk “Pembekalan Lulusan Sarjana Arsitektur”. Acara yang diselenggarkan pada Sabtu (9/1) di ruang Information and Resources Center (IRC), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII tersebut terselenggara sebagai bentuk monitoring dan tawaran beberapa pilihan yang dapat diambil oleh calon lulusan di bidang arsitektur. Read more

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dr. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not., berhasil meraih gelar prosfesor sebagai jabatan akademik tertinggi. Raihaian ini menjadikannya sebagai profesor di UII pertama pada Bidang Ilmu Hukum Agraria dan Pajak pertama di UII. Tercatat, Prof. Winahyu menjadi Guru Besar ke-13 di FH UII, melengkapi 40 profesor aktif di UII. Read more

Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, seorang kolega kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Dr. Winahyu Erwiningsih. Untuk itu, kita semua menyampaikan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini. Profesor bukan gelar akademik, tetapi jabatan yang punya muatan amanah besar yang melekat di sana.

Sampai hari ini, UII mempunyai 40 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Dalam setahun terakhir, selama 2023, UII mendapatkan 12 surat keputusan profesor. Prof. Winahyu merupakan profesor ke-13 di Fakultas Hukum UII.

Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 5 persen (40 dari 790 orang). Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan rata-rata nasional, yang baru 2,61 persen dari sekitar 311.000 dosen.

Saat ini, sebanyak 262 dosen UII berpendidikan doktor (33,2%). Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 116 lektor. Mereka semua (183 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkannya melalui refleksi lanjutan.

 

Kewajiban fidusia kepada mahasiswa

Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kewajiban fidusia (fiduciary duties) profesor. Istilah fidusia digunakan di bidang hukum yang merujuk kepada pengalihan hak kepemilikan sebuah benda. Dalam konteks ini ada kepercayaan, seperti arti asal kata fidusia dari bahasa Latin, fidere yang berarti “mempercayai”. Fidusia adalah konsep relasional karena melibatkan lebih dari pihak.

Hubungan fidusia juga mengandaikan ada penerima manfaat (beneficiaries) yang menjadi fokus. Hubungan ini juga dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, lebih tinggi, lebih murni, daripada sekedar hubungan kontraktual.

Mari, kita terapkan konsep ini dalam konteks pendidikan tinggi. Profesor dan secara luas dosen atau pendidik juga mempunyai hubungan fidusia dengan mahasiswa. Mahasiswa menaruh kepercayaan kepada para pendidik.

Di sini lain, sebagai implikasi, para pendidik mempunyai kewajiban fidusia yang merupakan hutang kepada mahasiswa (Scharffs & Welch, 2005). Kewajiban ini termasuk di antaranya memberikan bimbingan kepada mahasiswa, memberikan pengajaran yang berkualitas, menyediakan lingkungan pendidikan yang bebas dari rundungan dan pelecehan seksual, dan membentuk suasana kelas yang memandang mahasiswa setara dan bebas dari favoritisme atau jebakan anak emas. Daftar ini tentu bisa diperpanjang.

Juga penting disampaikan di sini bahwa pendidik tidak boleh menggunakan memanfaatkan relasi kuasa dengan mahasiswa untuk kepentingannya (Freedman, 1986). Dalam konteks ini, mahasiswa dalam posisi yang lemah.

Kehadiran para profesor diharapkan memberikan pencerahan kepada para mahasiswa. Peran ini sangat tidak mungkin diwakilkan, dan membutuhkan kehadiran dan interaksi langsung dengan mahasiswa.

Tentu, ada pengorbanan di sini, dari sisi waktu dan energi. Tetapi sekali ini, ini adalah harga layak yang harus dibayar karena mahasiswa (termasuk keluarganya) yang sudah menarik kepercayaan yang sangat tinggi.

Kita tidak mungkin membuat mahasiswa bertepuk sebelah tangan. Kita lengkapi dengan tangan kita supaya suara meriah muncul tapi bertemunya kedua tangan tersebut.

 

Kewajiban fidusia kepada publik

Apakah hubungan fidusia juga terjadi antara profesor dengan publik? Saya mengajak hadirin merenungkannya.

Profesor yang menjadi intelektual publik bisa menjadi salah satu penjelmaan karena kesadaran ini. Di sini, kepentingan publik menjadi fokus utama.

Di satu sisi, publik menaruh kepercayaan yang tinggi kepada profesor dan di sisi lain, juga ada “hutang” kepada publik yang harus dibayar oleh para profesor.

Peran intelektualisme publik ini bisa mewujud dalam beragam bentuk. Termasuk di dalamnya terlibat aktif dalam penyelesaian masalah publik atau meningkatkan kualitas kehidupan melalui aktivisme bersama organisasi publik.

Selain itu, juga dapat berbentuk ikhtiar mewarnai diskusi di ruang publik terkait isu bersama. Ikhtiar ini dapat disampaikan dalam beragam kanal, termasuk diskusi maupun tulisan populer atau kolom.

Studi yang dilakukan oleh Osborne dan Wilton (2017), misalnya, menemukan beragam alasan mengapa profesor menulis kolom di media populer. Beberapa yang mengemuka termasuk bahwa kolom akan memberikan wajah publik bagi kampus dan meningkatkan hubungan positif dengan konteks.

Kolom yang ditulis para profesor juga dipercaya akan memberikan sudut pandang akademik beragam isu yang muncul di media massa, selain juga akan menantang bias konservatisme atau pemahaman yang terlanjut melekat di tengah masyarakat. Dalam bahasa lain, kolom para profesor ini menawarkan perspektif baru yang lebih segar untuk beragam isu.

Responden lain mengatakan, menulis kolom juga sebagai bagian pengabdian kepada publik dengan membayar kepercayaan yang sudah diberikan kepada para profesor atau pendidik secara luas.

Sekali lagi, apa yang saya sampaikan diniatkan untuk membuka mata kolektif kita dan juga menghangatkan diskusi yang bermakna. Semoga berkenan.

Semoga amanah profesor ini menjadi pembuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya bagi pribadi dan keluarga, tetapi juga institusi dan publik. Sekali lagi, jabatan profesor tidak hanya merupakan prestasi, tetapi juga sekaligus amanah publik yang perlu dijalankan dengan sepenuh hati.

 

Referensi

Freedman, M. H. (1986). The professional responsibility of the law professor: Three neglected questions. Vanderbilt Law Review39(2), 275-286.

Osborne, G., & Wilton, S. (2017). Professing in the local press: Professors and public responsibilities. Journal of Community Engagement and Scholarship10(1), 67-80.

Scharffs, B. G., & Welch, J. W. (2005). An analytic framework for understanding and evaluating the fiduciary duties of educators. BYU Education & Law Journal, 4, 159-229.

Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Profesor untuk Prof. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not. pada 5 Januari 2024.

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar Musyawarah Wilayah (Muswil). Bertemakan “Perguruan Tinggi Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta Maju Bersama”, acara dilaksanakan di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Kaliurang, pada Kamis (4/1). Read more

Mengapa berita palsu, informasi salah, atau hoaks bisa menyebar cepat? Ada banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena naluri dan emosi telah mengalahkan fakta dan nalar.

Jika ini terjadi, maka akal sehat tergadaikan. Diskusi sehat pun tidak mungkin dijalankan. Pintu bertukar pikiran sudah ditutup rapat.

Sialnya, kasus seperti ini tidak hanya menjangkiti kalangan awam. Kalangan terpelajar pun banyak yang terjerat. Apalagi jika dilengkapi dengan embel-embel kepentingan, yang memudahkan produksi 1001 macam argumen pembenaran.

Karenanya, ketika ada informasi yang memapar seseorang dan itu mengonfirmasi opini awal yang sudah dipercaya, maka apa pun kualitasnya, informasi tersebut akan dilahapnya tanpa penalaran yang berarti. Inilah yang disebut dengan bias konfirmasi.

Di saat yang sama, informasi lain meski benar, tetapi jika tidak sesuai dengan opini semula, maka akan ditampik. Sangat sulit bagi orang yang seperti ini untuk berpindah pendirian.

Apesnya, opini awal yang terbentuk pun tidak selalu yang benar. Informasi salah yang memapar bertubi-tubi, akan lebih mudah dipercaya dibandingkan dengan informasi benar yang baru sekali diketahui.

Informasi apa pun yang diberikan oleh orang bercitra baik dan mempunyai tautan emosional baik juga serupa: lebih mudah dipercaya, meski tidak benar dan berlawanan dengan akal sehat. Kerumitan bertambah, ketika banyak pihak yang saling mengklaim sebagai otoritas yang bisa dipercaya. Dalam konstelasi ini, para pihak tersebut termasuk para ahli dengan beragam argumen dan segenap khalayak, terutama warganet.

Kekhawatiran di atas akan menemukan banyak bukti di musim kontestasi politik seperti saat ini. Coba simak beberapa informasi yang beredar di dunia maya berikut: Polisi Temukan Gudang Penyimpanan Ijazah Palsu Gibran; Mahfud MD Laporkan Gibran Rakabuming Raka ke KPU; Mendag Zulkifli Hasan Ditangkap Karena Penistaan Agama; Rektor UGM Mengeluarkan Gielbran Muhammad Noor atas Aksi Mengkritik Presiden Jokowi; Gibran Menggunakan 3 Mic pada Debat Cawapres, Berbeda dengan Dua Calon Lain; dan Warga Solo Teriaki Prabowo “Anies Presiden”. Semua informasi tersebut dipastikan merupakan hoaks. Situs www.kominfo.go.id sudah menayangkan klarifikasi untuk setiapnya. Bisa jadi, ketika suhu politik semakin menghangat, produksi hoaks juga meningkat, baik dengan memoles pasangan jagoan atau memfitnah pasangan lawan.

Apa yang terjadi jika hoaks tersebut terus menyebar dan dipercaya oleh semakin banyak orang? Beragam skenario bisa dibayangkan, termasuk suhu politik yang semakin memanas. Bukan karena adu gagasan bernas, tetapi benturan keganasan culas. Semuanya tidak ada yang berakhir indah.

Dalam konteks politik, fenomena di atas telah melahirkan yang oleh William Davies dalam bukunya Nervous State disebut sebagai “demokrasi perasaan” (democracy of feelings), ketika perasaan semakin mendominasi keputusan manusia. Fakta dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan dimainkan untuk menavigasi perubahan yang sangat cepat.

Bagi Davies, dalam situasi seperti ini, tantangan terbesarnya bukan lagi pada penghormatan kepada kebenaran, karena kebenaran sudah menjadi isu politik. Kebenaran dibuat menjadi relatif dan diputarbalikkan. Alih-alih digunakan untuk resolusi konflik, kebenaran justru digunakan untuk memperuncing konflik.

Informasi yang beredar pun, termasuk hoaks, dianggap sebagai representasi kebenaran. Kecepatan sebaran informasi tersebut semakin dahsyat ketika terjadi di pusaran publik dengan imajinasi paranoid yang tinggi karena perasaan terancam, kesesuaian informasi dengan opini awal yang dimiliki, dan frekuensi informasi yang diterima.

Jika ini yang terjadi, dalam konteks perhelatan politik, kebebasan warga dapat direnggut dengan manipulasi dan penggiringan opini, sehingga akal sehat menjadi sulit untuk berfungsi. Di sini, terjadi surplus perasaan yang dibarengi dengan defisit penalaran yang akut.

Bagaimana melawannya? Diperlukan gerakan bersama-sama mengedepankan penalaran merdeka yang tidak dikangkangi oleh perasaan tuna nurani. Semuanya penting dilakukan untuk merawat kewarasan kolektif sebagai bangsa.

Tulisan sudah tayang di Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat pada 29 Desember 2023.

Eksistensi teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan dan mahadata dengan segala manfaat dan tantangannya telah menjadi diskusi hangat saat ini. Terlepas dari kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan, kepentingan dan relevansi keterampilan akuntansi pun terus berkembang. Kehadiran akuntan tetap krusial demi memastikan akuntabilitas proses bisnis di dunia industri. Read more

Karakter mondial atau internasional sudah disematkan kepada Universitas Islam Indonesia (UII) sejak berdirinya. Simak saja, misalnya, naskah kesanggupan para pelajar (ikrar mahasiswa) Sekolah Tinggi Islam (STI), nama awal UII, berikut:

Kesanggupan Para Pelajar 

Kami pelajar-pelajar Sekolah Tinggi Islam di Jakarta, mengikrarkan janji dan membulatkan niat akan mencurahkan segenap tenaga kami dalam menuntut ilmu-ilmu yang diajarkan pada Sekolah Tinggi ini serta menjunjung tinggi akan akhlak dan budi pekerti Islam, agar kami dengan pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadi muslim Indonesia yang utama dan anggota yang berguna bagi masyarakat Indonesia, sejajar dengan lain-lain bangsa di Asia Timur Raya, serta dapat menunaikan kewajiban kami sebagai pemimpin Islam Indonesia pada masa yang akan datang sesuai dengan amanat yang dipesankan oleh P.Y.M. Gunseiken dan Tuan Rektor kami.

Terasa sekali di dalamnya ada semangat mondial yang tercermin dalam frasa “sejajar dengan lain-lain bangsa di Asia Timur Raya”. Pesan serupa disampaikan oleh Bung Karno ketika pembukaan STI. Saat itu, Bung Karno yang mewakili Jong Java mengharapkan “hendaknya Sekolah Tinggi Islam ini menjadi pusat, sumber pengetahuan, keislaman dari seluruh Asia, seperti juga dahulu Nalanda (Sriwijaya) pernah menjadi pusatnya ilmu pengetahuan tentang agama Budha”.

Ketika STI dibuka, bangsa Indonesia masih dalam suasana yang serba terbatas. Tetapi, pemikiran para pendiri telah melampaui zamannya.

 

Merawat semangat

Ikhtiar mondialisasi terus dilakukan. Terbukti, misalnya, pada 1950an, ketika masih seumur jagung, UII telah menjalin kerja sama dengan beberapa universitas kelas dunia, seperti Columbia University (Amerika Serikat), McGill University (Kanada), Punjab University (Pakistan), King Fuad I University yang berubah nama menjadi Cairo University (Mesir), dan Farouk I University yang berganti julukan menjadi Alexandria University (Mesir).

Semangat menjadikan UII sebagai universitas berkelas internasional juga tercermin dalam rumusan visi bagian akhir “setingkat universitas yang berkualitas di negara-negara maju.” Ini adalah ikhtiar mempertahankan karakter penting UII.

Beragam prestasi kolektif telah didokumentasikan. Pembukaan program internasional di UII pada pertengahan 1990an merupakan langkah yang perlu diapresiasi, ketika belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang memikirkannya. Bahkan, saat itu, beberapa perguruan tinggi negeri melakukan studi tiru ke UII.

 

Mobilitas internasional

Saat ini, UII sudah menjalankan 15 program internasional, dengan bahasa Inggris atau Arab sebagai pengantar. Selain sebagai ikhtiar menarik mahasiswa internasional, program ini juga menjadi pilihan mahasiswa domestik yang ingin mendapatkan atmosfer internasional.

Upaya ini juga dilengkapi dengan menarik mahasiswa internasional untuk melakukan studi di UII. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangannya cukup menggembirakan, baik dari sisi cacah mahasiswa internasional maupun cakupan negara.

Pada 2023 ini, sebanyak 135 mahasiswa internasional menempuh program bergelar di UII, baik untuk tingkat sarjana, magister, maupun doktor. Mereka berasal dari 24 negara, baik dari benua Asia (Thailand, Singapura, Pakistan, Turkmenistan, Palestina, Suriah, Afghanistan, Yaman, Jordan, dan Irak), Afrika (Maroko, Mesir, Sudan, Uganda, Libya, Liberia, Nigeria, Somalia, Niger, Gambia, dan Aljazair), maupun Eropa (Prancis, Jerman, dan Inggris).

Mahasiswa internasional peserta program non-gelar jauh lebih baik. Pada 2023, misalnya, peserta mendekati 500 orang, baik yang mengikuti program jangka pendek maupun transfer kredit. Bahkan, pada 2022, cacah peserta melebihi 1.500 orang.

Selain itu, UII juga mengirim mahasiswanya mengikuti mobilitas internasional, baik dengan mengikuti program jangka pendek, transfer kredit, maupun gelar ganda. Program ini termasuk yang melalui pendanaan universitas mitra, mandiri, maupun melalui skema Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA).

 

Kolaborasi internasional

Sejak beberapa tahun terakhir, UII terlibat dalam beberapa konsorsium internasional yang mengerjakan program-program spesifik berdasarkan kesepakatan anggota. Sejak 2016, UII sudah terlibat dalam sembilan konsorsium.

Konsorsium ini melibatkan universitas atau lembaga di Eropa dan juga Asia, termasuk Indonesia. Secara umum, ada dua macam program yang diusung: peningkatan kapasitas dan mobilitas. Program ini melibatkan mahasiswa dan dosen.

Program tersebut didanai oleh Uni Eropa melalui skema Erasmus+ maupun Marie Skłodowska-Curie Actions (MSCA). Pembentukan konsorsium ini membantu UII melebarkan sayap mondialnya. Ini adalah indikasi progres yang perlu ditingkatkan.

Selain kolaborasi institusional, penting juga untuk menyebut jaringan personal para dosen UII dalam melakukan beberapa kegiatan bersama, terutama riset dan publikasi. Kolaborasi personal merupakan bagian penting untuk mondialitas sebuah universitas. Karenanya, sivitas kampus perlu meningkatkan kapasitas diri menjadi warga global.

Tentu, perlu dicatat bahwa memberi perhatian kepada mondialisasi, tidak berarti melupakan penguatan kolaborasi nasional. Keduanya ibarat sayap yang saling melengkapi, untuk menjadikan UII dapat terbang tinggi.

Tulisan sudah tayang di UIINews edisi Desember 2023.

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan International Seminar of Student Happiness and Wellbeing in University Life. Acara yang digelar pada Rabu (20/12) di Gedung Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII ini diharapkan dapat memberikan pemahaman hingga alternatif terkait dengan penanganan isu kesehatan mental. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyambut dosennya yang telah menyelesaikan studi pada jenjang doktoral. Di tahun 2023 ini, sejumlah 18 dosen berhasil lulus dari berbagai universitas di dalam maupun luar negeri. Hingga saat ini tercatat cacah doktor UII sebesar 32,65 persen, atau sebanyak 258 dari total 790 dosen aktif.

Read more

Sudah jamak diyakini bahwa meritokrasi adalah pendekatan yang paling pas untuk proses seleksi atau pengakuan di banyak konteks. Ini berlaku untuk konteks keluarga, kelas di sekolah sampai dengan negara, dan bahkan global.

 

Meritokrasi dan kesetaraan

Meritokrasi adalah suatu sistem atau filosofi yang didasarkan pada prinsip bahwa keunggulan individu dan prestasi mereka seharusnya menjadi dasar utama untuk pengakuan, promosi, dan penghargaan dalam suatu masyarakat atau organisasi.

Pendekatan ini sering kali dihadapkan dengan pendekatan lain yang didasarkan pada pertimbangan emosi atau preferensi personal. Dalam pendekatan kedua ini terdapat nuansa subjektivitas karena favoritisme, ketidaksukaan, dan sejenisnya.

Sistem seleksi atau pengakuan berbasis meritokrasi diharapkan akan memberikan keadilan untuk semua, karena prinsip kesetaraan. Semua orang mempunyai kesempatan dan akses yang sama.

Namun, perlu dipahami bahwa sistem tersebut valid hanya ketika asumsi awal terpenuhi. Jika tidak, maka ada beberapa konsekuensi yang perlu mendapatkan perhatian mereka penganut meritokrasi ‘buta’ yang tidak melihat konteks.

 

Cacatan meritokrasi

Beragam kritik atau paling tidak catatan diberikan kepada sistem meritokrasi ini (Sandel, 2020).

Berikut adalah beberapa di antaranya:

Pertama terkait dengan ketidaksetaraan awal. Meritokrasi berasumsi bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap peluang pendidikan dan pengembangan keterampilan. Namun, di banyak masyarakat, faktor-faktor seperti latar belakang ekonomi, etnis, dan geografi dapat menciptakan ketidaksetaraan awal yang sulit diatasi.

Kedua adalah soal pelanggengan ketidaksetaraan. Sistem meritokrasi dapat menjadikan ketidaksetaraan tetap ada dan bahkan membesar, karena individu yang sudah memiliki keunggulan awal memiliki peluang lebih besar untuk mencapai keberhasilan dan keunggulan berkelanjutan.

Ketiga berhubungan dengan kecenderungan mengabaikan aspek kemanusiaan. Fokus yang terlalu besar pada hasil dan keunggulan dapat mengabaikan aspek kemanusiaan seperti keadilan sosial, perawatan terhadap individu yang kurang beruntung, dan kebutuhan sosial yang lebih luas.

Keempat berkaitan dengan jebakan fokus pada hasil singkat. Sistem meritokrasi sering kali fokus pada hasil akhir, seperti pencapaian kinerja atau penilaian kinerja karyawan. Hal ini dapat mengabaikan proses atau metode yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perilaku tidak etis atau penyalahgunaan.

 

Ilustrasi dan pertanyaan

Beberapa ilustrasi bisa diberikan. Misalnya, membandingkan kualitas sekolah di kota besar dengan fasilitas yang lengkap dengan sekolah di pedalaman yang bahkan atap gedungnya bocor, seharusnya menimbulkan pertanyaan.

Ketika seleksi sekolah didasarkan pada prestasi, tidak sulit memprediksi, dengan favoritisme, siswa yang pandai akan cenderung mengumpul di sekolah tertentu. Tentu sebaliknya, sekolah lain akan berisi siswa yang kurang pandai.

Jika kualitas sekolah pun timpang, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada tahapan sekolah di tingkat yang lebih tinggi. Kesenjangan sangat mungkin akan semakin melebar, termasuk dalam akses ke dunia kerja, partisipasi ekonomi, dan juga keterlibatan dalam politik.

Pertanyaan besar: Bagaimana prinsip meritokrasi bisa diadopsi dengan mengurangi masalah ikutannya? Salah satunya dengan pendekatan afirmasi.

Afirmasi dalam banyak konteks bisa menjadi mandat moral untuk menjamin adanya keseteraan karena asumsi awal sistem meritokrasi tidak valid. Unjungnya adalah inklusivisme, ketika tidak ada orang yang tertinggal di belakang.

Bagaimana konsep ini relevan dengan disiplin masing-masing. Ini ada pekerjaan rumah setiap doktor baru dalam bentuk refleksi yang agak mendalam.

Elaborasi ringan poin sambutan pada acara penyambutan doktor baru Universitas Islam Indonesia lulusan 2023, 21 Desember 2023.