Apakah pernah melihat sebuah meme atau poster yang di media sosial yang menggambarkan seorang ibu dan anak perempuannya melihat seorang pemulung yang sedang mengais sampah?

Dalam meme tersebut, terdapat dua gambar yang disandingkan. Pada keduanya, Si Ibu yang digambarkan cukup kaya, memberikan nasihat kepada anak perempuannya.

Pada gambar pertama, sambil menunjuk kepada pemulung, Si Ibu mengatakan, “jika kamu tidak rajin belajar, maka kami akan berakhir seperti dia”. Apakah ada yang salah dalam nasihat seperti ini? Sebagian dari kita akan berpendapat untuk setuju dengan Si Ibu. Ini adalah nasihat yang jamak kita dengar.

Kita simpan dulu jawaban tersebut.

Pada gambar kedua, dengan pose serupa, Si Ibu memberikan nasihat kepada anaknya: “kamu belajar yang rajin, supaya ketika besar dan sukses nanti, kami bisa membantu mereka yang kurang beruntung seperti pemulung itu”.

Apa yang berbeda dengan kedua nasihat itu? Pada gambar pertama, Si Ibu fokus kepada kesuksesan anaknya saja, sedang yang kedua, Si Ibu sudah memikirkan dampak sosial dari keberhasilan anaknya.

Coba kita renungkan: jika kita berada dalam posisi Si Ibu, nasihat mana yang akan kita pilih?

 

Memahami ketimpangan

Saya berharap banyak dari kita yang memilih perspektif kedua. Keberadaan kita diharapkan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain. Inilah ajaran Islam yang menegaskan bahwa sebaik-baik kita adalah yang memberikan paling banyak manfaat kepada orang lain.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari ilustrasi sederhana di atas.

Pertama, ketimpangan masih menjadi masalah sosial yang dihadapi dunia saat ini. Tak terkecuali dalam keseharian di Indonesia. Indikasinya beragam. Pendapatan masyarakat Indonesia masih timpang. Salah satunya diindikasikan oleh rasio Gini 38,8% pada Maret 2023 (BPS, 2023a). Data di bulan yang sama, porsi masyarakat miskin masih cukup besar, yaitu 9,36% atau setara dengan 25,90 juta orang. Bahkan di Papua, proporsi pendudukan yang miskin mencapai 26,03% (BPS, 2023b).

Ketimpangan dan kemiskinan membawa banyak akibat. Akses ke banyak layanan, termasuk pendidikan, juga terbatas. Misalnya, menurut data Susenas 2023, pemuda usia kuliah yang berkesempatan menikmati pendidikan tinggi hanya 31,19%. Artinya, ada 68,81% atau sekitar lebih dari 17 juta pemuda tidak pernah mengenyam bangku kuliah.

Kedua, kesadaran bahwa yang mempunyai kuasa untuk melandaikan lapangan permainan (leveling the playing field) adalah mereka yang berada pada posisi yang lebih tinggi. Untuk isu ini, kita bisa ibaratkan ketimpangan merupakan seperti ayunan jungkat jungkit dengan dua orang pemain, satu di setiap sisi. Orang yang bisa menjadikan papan ayunan semakin landai adalah pemain pada posisi tinggi. Dengan berat badannya, dia bisa mengangkat pemain satunya.

Metafora ini tampaknya valid untuk konteks kesuksesan seseorang, seperti nasihat Si Ibu pada ilustrasi pembuka. Kesuksesan seseorang akan menjadikannya mempunyai kuasa atau keleluasaan, termasuk dalam membantu orang lain. Bantuan bisa mewujud dalam banyak bentuk, termasuk kebijakan negara atau lembaga, gerakan sosial, maupun aksi individual.

 

Menumbuhkan empati

Karenanya, saya mengajak semuanya terus mengasah empati atau kepedulian kepada orang lain dan, di saat yang sama, mengelola sikap yang hanya peduli kepada diri sendiri. Hanya dengan demikian, dunia yang timpang akan menjadi lebih landai karena mereka yang berada di papan jungkat jungkit atas mau membantu yang tidak beruntung untuk meningkat derajatnya.

Sialnya, menurut survei McKinsey (Dondi et al., 2021) terhadap 18.000 orang di 15 negara, ternyata tingkat pendidikan hanya mempunyai korelasi rendah dengan empati seseorang. Tentu, ini memunculkan pertanyaan, bagaimana menumbuhkan empati?

Saya akan menyisakan pertanyaan ini untuk dijawab oleh semua hadirin, dan terutama oleh para wisudawan. Jawaban atas pertanyaan ini dan implementasinya akan membantu mengurangi ketimpangan dan membuat lapangan permainan lebih landai. Ini juga yang merupakan cita-cita para pendiri bangsa: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sambutan pada Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Universitas Islam Indonesia, 27-28 Januari 2024.

Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII), Hanindya Kusuma Artati., S.T., M.T. teliti potensi likuefaksi menggunakan pendekatan state parameter berdasarkan percepatan maksimum permukaan tanah akibat gempa hasil Codes, Deterministic, and Probabilistic Seismic Hazard Analysis. Hanindya dalam penelitiannya mengangkat studi kasus pada gempa Palu, Sulawesi Tengah, M 7.4, pada 28 September 2018.

Read more

Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyampaikan gagasannya merespons isu aktual. Gagasan kali ini dikemas dalam Podcast Lexi: Social Justice dengan tema “Legal Talk: Netralitas ASN, TNI, POLRI, dan Penyelenggaraan Pemilu 2024”. Read more

Tahun ini kembali digelar kegiatan akbar berskala nasional Innovation Festival (InnoFest) untuk kali kedua oleh Universitas Islam Indonesia (UII). InnoFest yang digelar pada Rabu (17/1) di Auditorium Fakultas Teknologi Industri UII ini mengangkat tema “Hilirisasi Invensi dan Green Entrepreneurship untuk Mendorong Kemandirian Kesehatan dan Energi bagi Bangsa”. InnoFest menggandeng mitra usaha Dunia Industri (DUDI) untuk berkolaborasi mengembangkan ekosistem inovasi dan kewirausahaan di Indonesia. Read more

Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) melantik dan mengambil sumpah 116 dokter baru yang terdiri dari 36 laki-laki dan 80 perempuan. Acara sumpah dokter FK UII angkatan 62 ini berlangsung pada Rabu (17/1) di Auditorium Prof. Abdul Kahar Muzakkir dengan penuh haru dan khidmat. Acara ini juga ditayangkan melalui kanal YouTube Fakultas Kedokteran UII. Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan kerja dari Universitas Al-Azhar Mataram pada Senin (15/1), di Gedung GBPH Prabuningrat Kampus Terpadu UII. Dalam agenda studi banding ini disikusikan terkait dengan penegakkan kode etik dan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Universitas. Read more

Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) menawarkan studi lanjut strata-2 (S-2) Magister Arsitektur dan Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) bagi calon wisudawan pada acara bertajuk “Pembekalan Lulusan Sarjana Arsitektur”. Acara yang diselenggarkan pada Sabtu (9/1) di ruang Information and Resources Center (IRC), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII tersebut terselenggara sebagai bentuk monitoring dan tawaran beberapa pilihan yang dapat diambil oleh calon lulusan di bidang arsitektur. Read more

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dr. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not., berhasil meraih gelar prosfesor sebagai jabatan akademik tertinggi. Raihaian ini menjadikannya sebagai profesor di UII pertama pada Bidang Ilmu Hukum Agraria dan Pajak pertama di UII. Tercatat, Prof. Winahyu menjadi Guru Besar ke-13 di FH UII, melengkapi 40 profesor aktif di UII. Read more

Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, seorang kolega kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Dr. Winahyu Erwiningsih. Untuk itu, kita semua menyampaikan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini. Profesor bukan gelar akademik, tetapi jabatan yang punya muatan amanah besar yang melekat di sana.

Sampai hari ini, UII mempunyai 40 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Dalam setahun terakhir, selama 2023, UII mendapatkan 12 surat keputusan profesor. Prof. Winahyu merupakan profesor ke-13 di Fakultas Hukum UII.

Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 5 persen (40 dari 790 orang). Persentase ini hampir dua kali lipat dibandingkan rata-rata nasional, yang baru 2,61 persen dari sekitar 311.000 dosen.

Saat ini, sebanyak 262 dosen UII berpendidikan doktor (33,2%). Sebanyak 67 berjabatan lektor kepala dan 116 lektor. Mereka semua (183 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkannya melalui refleksi lanjutan.

 

Kewajiban fidusia kepada mahasiswa

Dalam sambutan pendek ini, saya akan membahas kewajiban fidusia (fiduciary duties) profesor. Istilah fidusia digunakan di bidang hukum yang merujuk kepada pengalihan hak kepemilikan sebuah benda. Dalam konteks ini ada kepercayaan, seperti arti asal kata fidusia dari bahasa Latin, fidere yang berarti “mempercayai”. Fidusia adalah konsep relasional karena melibatkan lebih dari pihak.

Hubungan fidusia juga mengandaikan ada penerima manfaat (beneficiaries) yang menjadi fokus. Hubungan ini juga dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, lebih tinggi, lebih murni, daripada sekedar hubungan kontraktual.

Mari, kita terapkan konsep ini dalam konteks pendidikan tinggi. Profesor dan secara luas dosen atau pendidik juga mempunyai hubungan fidusia dengan mahasiswa. Mahasiswa menaruh kepercayaan kepada para pendidik.

Di sini lain, sebagai implikasi, para pendidik mempunyai kewajiban fidusia yang merupakan hutang kepada mahasiswa (Scharffs & Welch, 2005). Kewajiban ini termasuk di antaranya memberikan bimbingan kepada mahasiswa, memberikan pengajaran yang berkualitas, menyediakan lingkungan pendidikan yang bebas dari rundungan dan pelecehan seksual, dan membentuk suasana kelas yang memandang mahasiswa setara dan bebas dari favoritisme atau jebakan anak emas. Daftar ini tentu bisa diperpanjang.

Juga penting disampaikan di sini bahwa pendidik tidak boleh menggunakan memanfaatkan relasi kuasa dengan mahasiswa untuk kepentingannya (Freedman, 1986). Dalam konteks ini, mahasiswa dalam posisi yang lemah.

Kehadiran para profesor diharapkan memberikan pencerahan kepada para mahasiswa. Peran ini sangat tidak mungkin diwakilkan, dan membutuhkan kehadiran dan interaksi langsung dengan mahasiswa.

Tentu, ada pengorbanan di sini, dari sisi waktu dan energi. Tetapi sekali ini, ini adalah harga layak yang harus dibayar karena mahasiswa (termasuk keluarganya) yang sudah menarik kepercayaan yang sangat tinggi.

Kita tidak mungkin membuat mahasiswa bertepuk sebelah tangan. Kita lengkapi dengan tangan kita supaya suara meriah muncul tapi bertemunya kedua tangan tersebut.

 

Kewajiban fidusia kepada publik

Apakah hubungan fidusia juga terjadi antara profesor dengan publik? Saya mengajak hadirin merenungkannya.

Profesor yang menjadi intelektual publik bisa menjadi salah satu penjelmaan karena kesadaran ini. Di sini, kepentingan publik menjadi fokus utama.

Di satu sisi, publik menaruh kepercayaan yang tinggi kepada profesor dan di sisi lain, juga ada “hutang” kepada publik yang harus dibayar oleh para profesor.

Peran intelektualisme publik ini bisa mewujud dalam beragam bentuk. Termasuk di dalamnya terlibat aktif dalam penyelesaian masalah publik atau meningkatkan kualitas kehidupan melalui aktivisme bersama organisasi publik.

Selain itu, juga dapat berbentuk ikhtiar mewarnai diskusi di ruang publik terkait isu bersama. Ikhtiar ini dapat disampaikan dalam beragam kanal, termasuk diskusi maupun tulisan populer atau kolom.

Studi yang dilakukan oleh Osborne dan Wilton (2017), misalnya, menemukan beragam alasan mengapa profesor menulis kolom di media populer. Beberapa yang mengemuka termasuk bahwa kolom akan memberikan wajah publik bagi kampus dan meningkatkan hubungan positif dengan konteks.

Kolom yang ditulis para profesor juga dipercaya akan memberikan sudut pandang akademik beragam isu yang muncul di media massa, selain juga akan menantang bias konservatisme atau pemahaman yang terlanjut melekat di tengah masyarakat. Dalam bahasa lain, kolom para profesor ini menawarkan perspektif baru yang lebih segar untuk beragam isu.

Responden lain mengatakan, menulis kolom juga sebagai bagian pengabdian kepada publik dengan membayar kepercayaan yang sudah diberikan kepada para profesor atau pendidik secara luas.

Sekali lagi, apa yang saya sampaikan diniatkan untuk membuka mata kolektif kita dan juga menghangatkan diskusi yang bermakna. Semoga berkenan.

Semoga amanah profesor ini menjadi pembuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya bagi pribadi dan keluarga, tetapi juga institusi dan publik. Sekali lagi, jabatan profesor tidak hanya merupakan prestasi, tetapi juga sekaligus amanah publik yang perlu dijalankan dengan sepenuh hati.

 

Referensi

Freedman, M. H. (1986). The professional responsibility of the law professor: Three neglected questions. Vanderbilt Law Review39(2), 275-286.

Osborne, G., & Wilton, S. (2017). Professing in the local press: Professors and public responsibilities. Journal of Community Engagement and Scholarship10(1), 67-80.

Scharffs, B. G., & Welch, J. W. (2005). An analytic framework for understanding and evaluating the fiduciary duties of educators. BYU Education & Law Journal, 4, 159-229.

Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Profesor untuk Prof. Winahyu Erwiningsih, S.H., M.Hum., Not. pada 5 Januari 2024.

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar Musyawarah Wilayah (Muswil). Bertemakan “Perguruan Tinggi Swasta Daerah Istimewa Yogyakarta Maju Bersama”, acara dilaksanakan di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Kaliurang, pada Kamis (4/1). Read more