MAPRO UII Beri Perhatian Pengembangan Masyarakat Lereng Merapi

Magister Profesi Psikologi (Mapro) UII berupaya turut meningkatkan kapasitas masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi. Hal ini tergambar dalam kerjasama antara HIMMAPRO UII dengan Sekolah Gunung Merapi dalam penyelenggaraan seminar. Acara yang bertajuk “Understanding Rural Community Development After Disaster” itu berlangsung di ruang Auditorium gedung FPSB pada Rabu (18/10).

Sesi pertama seminar dibuka oleh Subagjo, Kepala Dukuh Dusun Pangukrejo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta. Subagjo berbagi cerita hidup dan pengalaman dirinya selaku warga yang merasakan tinggal di lereng Gunung Merapi. Ia juga mengisahkan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar lingkungannya pada masa pra dan pasca meletusnya Merapi tahun 2010. Melalui penyampaian pengalaman tersebut, peserta seminar diajak untuk ikut merasakan kondisi sosial masyarakat yang ada di sana.

Setelah itu, sesi kedua kemudian membahas dari sisi  kajian sosiologi antropologi yang dibawakan oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra. Pakar antropologi yang telah berpengalaman di kawasan bencana Merapi itu mengatakan relokasi korban bencana perlu ditinjau kembali.

“Ada hal-hal yang kadang luput dari penglihatan kita yang tidak tinggal di sana. Penduduk lereng Merapi memberi makna tersendiri terhadap lingkungan alam mereka. Mereka memiliki hubungan emosional yang kuat terhadapnya” pungkas Prof. Heddy.

Seminar ditutup dengan materi yang dibawakan oleh Fajar Radit Syamsi, salah satu founder dari Sekolah Gunung Merapi. Dalam materi yang dibawakan, Fajar lebih membahas mengenai kehidupan sosial masyarakat khususnya di bidang pendidikan. Menurutnya, pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diberikan kepada masyarakat.
Sekolah Gunung Merapi sendiri merupakan sekolah gratis (non formal) dan pusat kebudayaan masyarakat lereng Merapi. Organisasi ini mencoba mengembalikan hak-hak masyarakat yang tidak terpenuhi pasca bencana erupsi tahun 2010.

Sekolah ini didirikan secara sukarela karena tergugah melihat kondisi di lereng Merapi setelah erupsi. Kegiatan yang diadakan mulai dari belajar ilmu pengetahuan seperti di sekolah formal, belajar tentang kebudayaan, lingkungan, hingga bahaya bencana. Sekolah ini juga terbuka bagi siapapun yang ingin memberi donasi dan ingin mengajar di sana. (MHH)