,

Membedah Insiden Christchurch dari Kacamata Politik Internasional

Insiden penembakan yang terjadi di Christchurch pada Maret 2019 lalu menjadi pembahasan hangat di dunia internasional. Insiden itu juga memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana masa depan politik internasional. Maka dari itu, Laboratorium Diplomasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII), mengadakan seminar bertajuk “Insiden Christchurch dan Masa Depan Politik Internasional”. Acara seminar dilangsungkan di Auditorium FPSB Lt.3 pada Senin (8/4).

Dalam acara seminar tersebut mendatangkan 3 pembicara yaitu Hangga Fathana, S.IP., B.Int.St, MA., selaku pengajar mata kuliah Kawasan Australia dan Pasifik HI UII, Dr. Ani Widyani Soetjipto, Pengajar Departmen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, dan Prof. Jawahir Thontowi, SH., Ph.D., selaku Guru Besar Hukum Internasional FH UII.

Dalam pembahasannya, Hangga fathana menjelaskan bahwa insiden Christchurch mempengaruhi masa depan kehidupan multikultur baik di Selandia Baru maupun di masyarakat global pada umumnya.

“Untuk dapat mengukur eksistensi multikulturalisme di Australia dan di Selandia Baru perlu diingat 3 faktor yaitu sejarah, politik dan ekonomi. Tantangan yang dihadapi multikulturalisme tidak sekedar sentimen terhadap agama, suku, atau ras tertentu karena ini baru di level hilir. Tantangan yang ada di tingkat hulu adalah justru bagaimana memastikan globalisasi dapat lebih mencetak manfaat secara ekonomi bagi kedua negara. Selain itu, godaan politik populisme bagi politisi di kedua negara juga turut menentukan, apakah multikulturalisme akan berumur panjang.” Jelas Hangga.

Ani Widyani Soetjipto menambahkan bahwa insiden penembakan di Christchurch terjadi karena negara sudah tidak bisa lagi mengontrol keamanan nasionalnya. Selain itu, efek negatif dari kemajuan teknologi dan informasi serta kemajuan globalisasi yang menjadikan dunia internasional semakin kacau.

Sementara itu, Jawahir Thontowi mejelaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang diatur dalam konvensi-konvensi hukum internasional dan hukum nasional negara-negara. Baik pengaturan tersebut diberlakukan di Negara-negara Barat maupun Negara-negara Muslim.

Beberapa perilaku orang kulit putih yang melakukan tindakan teroris sebagaimana kasus di AS, Perancis, Inggris, dan terakhir di Selandia Baru adalah bukti bahwa tindakan terorisme dapat dilakukan bukan karena motif agama, melainkan lebih disebabkan xenophobia terhadap umat Muslim.

Jawahir menambahkan mengenai penegakan hukum di Selandia Baru memang cepat dan juga agar pelaku dijatuhi sanksi hukuman berat. Kendatipun sebatas maksimal hukuman 14 tahun atau seumur hidup yang bisa jadi akan mengecewakan keluarga korban. (RRA/ESP)