Memetik Pelajaran dari Hubungan Indonesia dan Kazakhstan

Jiwa mukmin - UII - berita kontrol kehamilan

Memiliki pandangan yang luas dan kemauan untuk terus belajar menjadi dua hal penting yang perlu dimiliki oleh seorang diplomat. Sebagai representasi dari sebuah negara, pengetahuan dan karakteristik yang dimiliki diharapkan dapat menjadi cerminan dalam bersikap. Hal ini menjadi topik bahasan pada acara bertajuk Bincang Diplomat 2.0 yang diadakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia, Universitas Islam Indonesia (FPCI UII) pada Kamis (18/6) secara daring.

“Dalam bahasa Yunani diplomat merupakan seorang pembawa dokumen yang mengesahkan dirinya sebagai pembawa pesan pemerintah,” jelas Darmia Dimu, Pelaksana Fungsi Ekonomi dan Protokol KBRI dan Kazakhstan, mengawali sesi. Darmia merujuk pada Permenpan RB No. 4 tahun 2018: PNS yang diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan diplomasi dalam penyelenggaraan politik dan hubungan luar negeri.

Sedangkan ada UU Hublu No. 37 pasal 31: Pejabat Dinas Luar Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan latihan khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan Repubulik Indonesia. Darmia menyebutkan bahwa jumlah diplomat Kementerian Luar Negeri sudah mencapai 1.232 pria, dan 723 wanita.

“Seorang diplomat, selain bertugas sebagai representasi sebuah negara dan mengorganisasi administrasi, memiliki tugas bernegosiasi dengan negara dimana ditempatkan, mempromosikan kerja sama dengan negara lain, melindungi dan mengatur, serta mengamati dan melaporkan hasil pengamatannya,” tutur Darmia Dimu.

Karena tugas tersebut, penting bagi seorang diplomat memiliki kemampuan komunikasi dan bahasa yang mumpuni. Tidak hanya itu, Darmia juga menyebutkan bahwa sebagai representasi sebuah negara, juga hendaknya peka terhadap sosial budaya, politik, dan ekonomi juga tidak kalah penting. Meskipun begitu ia juga mengaku bahwa untuk menjadi seorang diplomat tidak ditentukan dari latar pendidikan tertentu. “Dari latar belakang apapun bisa, asal memiliki ketekunan dan kemauan untuk belajar hal baru seperti politik, ekonomi, ataupun hokum, karena kami memang dituntut untuk menjadi seorang generalis yang bisa ditempatkan dimana saja,” paparnya.

Menurut Darmia Indonesia dan Kazakhstan memiliki hubungan yang erat dan harmonis. Hal ini tercermin dari visi yang sama kedua negara dalam memajukan perdamaian dunia melalui program pelarangan senjata. Kazakhstan terlihat selalu mendukung pencalonan Indonesia pada beragam forum multilateral. Hubungan antar negara bahkan sudah terjalin tidak lama setelah Kazakhstan lepas dari Uni Soviet pada tahun 1991. Kunjungan pertama ini terjadi pada tahun 6 April 1995 dan terus berlanjut hingga terakhir pada Maret 2018 lalu.

Mengamati perkembangan Covid-19, Darmia mengungkapkan bahwa bulan lalu ada satu WNI yang terkena di Kazakhstan. “Tapi beliau sudah pulih dan kembali ke Indonesia melalui pesawat khusus,” imbuhnya. Darmia menyampaikan bahwa prioritas KBRI adalah pelayanan dan perlindungan terhadap WNI yang tinggal di Kazakhstan selama pandemi Covid-19.

Pada sektor pariwisata, tercatat pada tahun 2012, turis Kazakhstan ke Indonesia sebanyak 3.990 orang, dan pencapai 9.781 orang pada tahun 2019. Selain itu, banyak diadakan pagelaran seni dan acara budaya di sekolah yang mempromosikan tari tradisional, musik, kuliner, dan bahasa. Upaya ini dilakukan agar budaya antar kedua negara dikenal lebih jauh.

Dalam sektor ekonomi, Darmia menjelaskan bahwa tidak hanya KBRI Nur Sultan berupaya mencari peluang agar produk Indonesia dapat diterima di negara akreditasi, tetapi juga mendorong adanya perjanjian dagang dan promosi produk-produk Indonesia. Selain dalam bisnis, juga berusaha mendorong pengusaha kedua negara untuk saling mengikuti pameran baik di Indonesia maupun di Kazakhstan dan memfasilitasi pertemuan bisnis.

Tercatat (Sumber: Kementerian Perdagangan RI) bahwa nilai perdagangan kedua negara terus tumbuh sehinga pada tahun 2019 naik sebesar USD 348,9 juta (naik sebesar 479%) dari tahun 2018. Darmia berpendapat bahwa prertumbuhan ini disebabkan bahwa 60% Kazakhstan adalah areal yang gas dan baja yang dibuat untuk komponen mesin, serta kaya akan hasil alam seperti mineral. Kekayaan inilah yang memiliki harga tinggi saat diekspor ke Indonesia.

Lebih jauh, Darmia mengaku sempat mengalami kesulitan, terutama pada proses ekspor-impor Indonesia dan Kazakhstan. “Kami kesulitan dalam hal logistik karena Kazakhstan tidak memiliki pelabuhan,” tutur Darmia. Pasalnya, dibanding dengan kargo udara, tarif kargo laut dinilai lebih terjangkau dalam ekspor-impor. “Pada akhirnya kami membutuhkan negara ketiga –yang saat itu adalah China –sebagai transit sehingga barang bisa masuk melalui kargo udara di Kazakhstan,” jelas Darmia. Proses inilah yang membuat proses ekspor-impor antara Indonesia dan Kazakhstan berlangsung tidak sebentar.

Setelah 27 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Kazakhstan, kedua negara memutuskan untuk mempertahankan dan berharap dapat meningkatkan kerja sama pada sektor wisata. Tidak hanya kerjasama politik dan ekonomi, kerja sama dalam pendidikan dan budaya perlu berjalan sehingga meningkatkan people to people contact. Meskipun terdapat tantangan logistik pada sektor ekonomi, kedua negara memiliki peluang untuk terus tumbuh. (IG/RS)