Program Studi Profesi Arsitek (PPAr), Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) menyelenggarakan Sumpah Keprofesian Arsitek Angkatan 10 Tahun Akademik 2022/2023 pada Kamis (26/01) di Auditorium Lt.3, Gd. KH. Mohammad Natsir FTSP UII. Acara ini juga disiarkan melalui kanal YouTube Departemen Arsitektur UII.

Acara ini dihadiri oleh Rektor UII yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Nasional, IAI DIY, Dekan FTSP, Ketua Jurusan Arsitektur, Kepala LLDIkti Wilayah V, Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia.

Read more

Ungkapan syukur selalu terpanjat kepada Allah, Zat Yang Maha Hebat. Hanya atas kemurahan-Nya, beragam nikmat terus mengalir kepada kita tanpa terkira.

Saya yakin, semua arsitek sudah mengikuti proses pendidikan yang tidak selalu mudah. Ada beragam tantangan dihadapi. Tetapi, alhamdulillah, semua dapat dilalui dengan baik. Tentu dengan beragam cerita, baik yang terungkap maupun yang cukup disimpan rapat dalam benak.

Selawat dan salam senantiasa terkirim kepada Rasulullah, Sang Kekasih Allah. Melaluinya, terkirim risalah untuk kebaikan umat manusia dan alam semesta. Nabi Muhammad semasa hidupnya tak lelah mengajak manusia untuk menebar maslahat.

Bagi saya, momen menghadiri pengambilan sumpah keprofesian arsitek selalu menarik. Pernah saya sampaikan di forum serupa, bahwa pada suatu masa, saya mempunyai cita-cita menjadi arsitek, tetapi takdir membawa saya ke pendulum yang lain.

Semuanya, alhamdulillah, disyukuri sepenuh hati, karena akhirnya saya menyadari sepenuhnya bahwa manusia hanya bisa mengusahakan yang terbaik dan tak satu pun dari kita tahu akan berakhir di mana, dan dengan kelok perjalanan seperti apa.

Karenanya, saya mengajak semua arsitek muda untuk terus bersyukur atas semua nikmat dari Allah yang sudah diterima sepanjang perjalanan kehidupan sampai hari ini. Pun ketika mengingat momen yang tidak menggembirakan. Ketika direfleksikan kembali hari ini, momen tersebut bisa jadi merupakan belokan penting yang mengantarkan kita sampai hari ini.

 

Gocekan antardisiplin

Izinkan saya di kesempatan yang berbahagia ini berbagi sebuah perspektif yang bisa menjadi bahan renungan atau memantik diskusi lanjutan.

Hasil pembacaan terbatas saya atas beragam literatur menemukan hal menarik tentang bagaimana garis demarkasi disiplin semakin pudar. Kepudaran pagar ini tidak lantas menjadikan teritorialnya menyempit atau semakin tidak jelas, tetapi justru sebaliknya, cakupannya meluas dan membuka ruang komunikasi dengan disiplin lain. Inilah pendekatan antardisiplin (interdisciplinary approach) yang diperlukan untuk memecahkan beragam masalah yang semakin kompleks atau untuk meningkatkan kualitas solusi.

Kecenderungan ini pun saya temukan di bidang arsitektur. Saya tentu tidak punya legitimasi untuk berbicara mendalam soal ini. Tetapi, di kesempatan ini, izinkan saya membuat gocekan atau senggolan ringan (nudge) yang mudah-mudahan dapat memantik diskusi lanjutan.

Sebelum melanjutkan, saya ingin memperkenalkan konsep gocekan (nudge concept) yang mengusulkan desain adaptif dalam sebuah konteks sebagai cara mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan dengan perubahan kecil (Thaler & Sunstein, 2009). Gocekan tidak memerlukan pembuatan peraturan atau pemaksaan.

Sebagai contoh, mengubah cara menempatkan makanan di kantin sekolah atau pabrik, dapat mengubah pola konsumsi makanan siswa atau karyawan, tanpa melakukan kampanye atau pemaksaan.

Apakah mungkin yang demikian juga diterapkan dalam konteks berarsitektur? Perubahan desain yang sederhana apakah mungkin dapat mengintervensi perilaku manusia menjadi lebih positif. Ini bisa mewujud dalam banyak hal, termasuk osmosis sosial yang lebih baik, interaksi yang lebih berkualitas, kepedulian kepada lingkungan yang lebih baik, atau lainnya.

 

Arsitektur dan perilaku manusia

Ternyata saya temukan edisi spesial Journal of Contemporary Administration yang mengusung tema nudging and choice architecture (gocekan dan arsitektur pilihan) (Leal et al., 2022).

Ada beragam informasi menarik dapat ditemukan di dalamnya, terkait dengan proses pengambilan keputusan manusia. Setiap hari, misalnya, manusia membuat 200 keputusan terkait dengan makanan. Sebagian keputusan dilakukan dengan sengaja dan hati-hati, tetapi sebagian besar ditentukan dengan kesadaran pendek, otomatis, dan melihat kepraktisan.

Faktanya, 45% perilaku harian kita di luar kebiasaan, dan cenderung diulang dalam konteks yang serupa. Kebiasaan adalah jalan pintas yang tidak menjamin pengambilan keputusan terbaik, tetapi cukup untuk merespons dengan cepat, terlepas itu menjadi kebiasaan baik atau buruk. Namun, pilihan-pilihan cepat ini mempunyai konsekuensi dan mempengaruhi keputusan lanjutan yang diulang dari waktu ke waktu.

Di sinilah muncul pertanyaan, apakah mungkin perubahan desain yang sederhana dalam arsitektur dalam ditujukan untuk menavigasi perilaku penggunanya dan menjadi kebiasaan baru?

Mungkin karena ini juga, pendekatan antardisiplin antara arsitektur dengan neuroscience juga digunakan untuk meningkatkan dan mendalami pengetahuan kita tentang pengalaman manusia dalam lingkungan binaan (built environment) (Karakas & Yildiz, 2020).

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa pendekatan antardisiplin sudah menjadi lazim dilakukan. Kita bisa temukan beragam contoh lain, di bidang arsitektur, yang saya yakin sudah masuk radar pada arsitek.

Arsitektur juga dikawinkan dengan ilmu politik (Bell & Zacka, 2020). Sebagai contoh kasus adalah hubungan antara lingkungan binaan dan regim politik tertentu. 

Apakah, misalnya, konfigurasi perkotaan tertentu memfasilitasi autoritarianisme atau demokrasi? Apakah gaya, jenis struktur, atau material bangunan mengekspresikan nilai politik tertentu, misal kaca untuk transparansi demokratis dan beton untuk egalitarianisme yang jujur?

Di dalam buku Political Theory and Architecture (Bell & Zacka, 2020), arsitektur juga dianggap sebagai infrastruktur politik dan bahkan sebagai agensi politik. Desain ruang sidang parlemen, misalnya, bisa mempengaruhi bagaimana para senator berinteraksi.

Saya tidak akan masuk lebih dalam dan diskusi ini. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa pendekatan antardisiplin menjadi penting untuk memahami masalah dengan lebih baik di tengah semakin banyak variabel yang terlibat dalam sebuah konteks.

Beragam disiplin lain sangat mungkin dikawinkan dengan arsitektur, termasuk sosiologi (Jones, 2011) dan teknologi informasi (Abdirad & Dossick, 2016). Saya yakin, para arsitek bisa menambah panjang daftar disiplin ini, termasuk di dalamnya, sejarah dan filsafat.

 

Referensi

Abdirad, H., & Dossick, C. S. (2016). BIM curriculum design in architecture, engineering, and construction education: a systematic review. Journal of Information Technology in Construction (ITcon)21(17), 250-271.

Bell, D., & Zacka, B. (Eds.). (2020). Political theory and architecture. Bloomsbury Publishing.

Jones, P. (2011). The sociology of architecture: constructing identities. Liverpool University Press.

Karakas, T., & Yildiz, D. (2020). Exploring the influence of the built environment on human experience through a neuroscience approach: A systematic review. Frontiers of Architectural Research9(1), 236-247.

Leal, C. C., Branco-Illodo, I., Oliveira, B. M., & Esteban-Salvador, L. (2022). Nudging and choice architecture: Perspectives and challenges. Journal of Contemporary Administration26(5), e220098.

Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2009). Nudge: Improving decisions about health, wealth, and happiness. Penguin.

 

Sambutan pada Sumpah Keprofesian Arsitek (SKA) Angkatan ke-10, Program Studi Profesi Arsitek, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, Tahun Akademik 2022/2023 pada 26 Januari 2023.

Enam mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (PBI UII) berhasil lolos seleksi Program Kampus Mengajar yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini dipelopori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud RI) guna menjembatani mahasiswa untuk belajar dan mengembangkan diri melalui aktivitas di luar kampus dan secara langsung terjun untuk berkontribusi ke masyarakat. Read more

Atas nama Konsorsium Epistemologi Islam, Universitas Islam Indonesia (UII), dan juga Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS), saya mengucap syukur atas terbitnya buku “Integrasi Ilmu dan Islam” karya Prof. Dr. Ir. H. A. M. Saefuddin dan Drs. Yuddy Ardhi.

Bagi saya, penulisan buku dan publikasi ilmiah lain sebagai pengikat ilmu merupakan ikhtiar menjadikan ilmu menjadi lebih berusia panjang dan membuka pintu kebermanfaatan semakin lebar. Penulisan pemikiran juga memantik diskusi lanjutan yang sangat penting untuk membuat iklim ilmiah yang sehat.

Saya berterima kasih untuk kerja sama antara Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia (UII), Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), Konsorsium Epistemologi Islam, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS) dalam acara ini.

Kelahiran setiap buku dan publikasi yang ditulis dengan serius layak untuk dirayakan, sebagai wujud apresiasi kepada pengembangan ilmu/sains dan ilmuwan/saintis. Kebiasaan ini dapat menjadi salah satu indikasi perangai ilmiah (scientific temper) yang harus semakin digalakkan.

Sejarah mencatat bahwa perangai ilmiah yang diindikasikan dengan perasaan gandrung terhadap sains, menjadi salah satu pendorong pengembangan sains di dunia Islam sampai mencapai masa kejayaannya. Ketika itu, sains dan saintis sangat dihargai.

 

Perangai Ilmiah

Saya ingin memulai dengan ilustrasi sederhana untuk melihat bagaimana umat Islam berpikir ilmiah dalam melihat sebuah kejadian.

Ketika ada gugusan awan yang menyerupai tulisan Allah atau Muhammad, apa yang dilakukan oleh umat Islam? Sebagian besar akan mengucap masyaallah, tanda takjub dan bentuk zikir kepada Sang Pencipta. Respons tersebut sama sekali tidak salah dan bahkan dianjurkan.

Namun, apakah kita pernah mendengar diskusi lanjutan, yang membahas bagaimana menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah, terkait dengan pembentukan awan yang mempunyai beragam formasi atau sejenisnya?

Jika kita sepakat pada konsep ulul albab menjadi landasan epistemologi, respons dengan “masyaallah” baru mengandung satu aspek: berzikir. Kita belum masuk secara serius ke aspek keduanya: berpikir.

Karenanya, muslim dengan perangai ilmiah, sebagai penerjemahan aspek berpikir ulul albab, akan menggunakan pendekatan ilmiah dalam melihat banyak hal dan dalam mengambil beragam keputusan.

Mengapa ini penting?

Kepercayaan publik dunia terhadap sains dan saintis tidak terlalu menggembirakan. Survei Wellcome Global Monitor pada 2018, misalnya, menemukan bahwa hanya 32% responden yang mempunyai kepercayaan tinggi terhadap sains secara umum dan hanya 34% responden yang mempunyai kepercayaan tinggi terhadap saintis.

Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap sains dan saintis. Survei serupa pada 2020 yang melibatkan 119.000 responden di 113 negara/wilayah, menemukan sebanyak 43% publik mempunyai kepercayaan terhadap saintis, mirip dengan proporsi publik (45%) yang percaya kepada dokter (Wellcome, 2020).

Kepercayaan kita terhadap sains dan saintis merupakan salah satu indikasi perangai ilmiah kita.

 

Pengembang sains

Temuan riset yang dilakukan oleh Eric Chaney (2016), profesor dari Universitas Harvard, tentang perkembangan peradaban Islam menarik untuk dilihat. Dia ingin mencari bukti empiris lampau bagaimana muslim memberikan perhatian kepada pengembangan sains. Dia kumpulkan data dari Perpustakaan Universitas Harvard yang mempunyai lebih dari 13 juta koleksi, termasuk yang berasal dari abad ke-9, ketika peradaban Islam dipercaya berkembang sangat pesat.

Dia kumpulkan buku yang ditulis antara tahun 800 sampai 1500, diterbitkan di “wilayah Islam” saat itu, dan ditulis oleh penulis bernama Arab. Tentu meski bernama Arab, tidak selalu beragama Islam.

Buku dikelompokkan menjadi dua: buku agama yang ditulis oleh penulis dari madrasah, dan buku sains yang ditulis oleh mereka dari lembaga riset. Selain tahun terbit, kota tempat terbit buku juga dipetakan.

Temuan penting pertama mengamplifikasi pengetahuan kita selama ini, bahwa ada beberapa kota yang menjadi episentrum peradaban Islam saat ini. Kota tersebut adalah Bagdad, Aleksandria, dan Cordoba. Di ketika kota tersebut, banyak buku diterbitkan.

Temuan menarik lainnya adalah, bahwa sebelum abad ke-11, cacah buku sains yang diterbitkan jauh lebih baik dibanding buku agama. Namun, mulai abad ke-11, sebaliknya, cacah buku tentang agama naik tajam dan cacah buku sains turun drastis.

Sejarah mencatat bahwa kemunduran peradaban Islam dimulai pada abad ke-11 tersebut. Koinsidensi ini membimbingan pada sebuah kesimpulan terkait dengan peran pengembangan sains dalam sebuah peradaban.

 

Pertanyaan penutup

Jika berzikir merupakan salah satu sayap peradaban Islam, maka pengembangan sains yang didorong oleh perangai ilmiah, epistem berpikir, adalah sayap keduanya. Ibarat seekor burung, peradaban Islam tidak akan bisa terbang tinggi tanda dua sayap yang sempurna: sayap zikir dan sayap pikir.

Jika ini disepakati, maka saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan sebuah pertanyaan untuk kita semua: dengan dilandasi niat baik dan dilandasi semangat integrasi ilmu dan Islam, apakah mungkin bahwa berbondong-bodong ke perpustakaan, berlama-lama di laboratorium, atau bersemangat mengumpulkan data lapangan sebagai contoh aktivitas berpikir, kita pandang sama mulia dan sama islami, dengan menghadiri majelis taklim di masjid sebagai amsal aktivitas berzikir?

 

Referensi

Chaney, E. (2016). Religion and the rise and fall of Islamic science. Working Paper, Department of  Economics, Harvard University, Cambridge, MA.

Wellcome (2020). Wellcome global monitor: How Covid-19 affected people’s lives and their views about science. Tersedia daring: https://cms.wellcome.org/sites/default/files/2021-11/Wellcome-Global-Monitor-Covid.pdf

 

Elaborasi sederhana dari sambutan pada pembukaan acara bedah buku “Integrasi Ilmu dan Islam” karya Prof. Dr. Ir. H. A. M. Saefuddin dan Drs. Yuddy Ardhi, kerja sama antara Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), Universitas Islam Indonesia (UII), Konsorsium Epistemologi Islam, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKSPTIS).

Saya bersyukur dan mengucapkan selamat atas jabatan guru besar untuk Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. Beliau adalah profesor ke-29 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII). Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor di UII adalah 3,7%.

Sejak 2018 terdapat penambahan sebanyak 15 profesor. Secara kelembagaan, sekarang adalah waktunya bagi UII memanen investasi benih yang disemai pada dua sampai tiga dekade yang lalu.

Saat ini, sebanyak 11 usulan untuk jabatan akademik profesor sudah lolos dari Majelis Guru Besar dan Senat Universitas. Sebagian darinya, sedang diproses di Jakarta.

Selain itu, UII masih mempunyai 248 doktor. Sebanyak 66 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik Lektor Kepala. Mereka semua adalah para calon profesor. Semoga semuanya tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

 

Dialektika ilmu pengetahuan dan teknologi

Izinkan saya di kesempatan yang membahagiakan ini mengajak untuk melakukan refleksi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya menghadirkan kisah bahagia. Ada dialektika di sana. Selalu saja ada sisi baik dan juga sisi jahat.

Menurut saya, kesadaran yang terkesan sederhana ini perlu dilantangkan. Mengapa? Karena sensitivitas setiap ilmuwan dan intelektual, termasuk profesor di dalamnya, tidak selalu sama. Ada yang melihatnya secara optimistik dan mengabaikan sisi buruknya, dan sebaliknya, bahkan ada yang sangat apati dan menolak potensi baiknya. Tentu, ada gradasi di antara keduanya.

Sensitivitas terhadap dialektika dan konteks dapat diasah. Salah satunya, dengan peningkatan tingkat paparan.

Orang yang lebih banyak membaca topik tertentu sebagai indikasi tingkat paparan, misalnya, akan lebih sensitif dengan topik terkait. Orang yang lebih aktif melakukan diskusi dan refleksi juga demikian. Dan, berlaku sebaliknya.

 

Dimensi sensitivitas

Sensitivitas pun mempunyai dimensi spasial (ruang) dan temporal (waktu). Referensi spasial seseorang yang terbatas dan cenderung seragam, akan berbeda dengan mereka yang sering “piknik” ke wilayah lain yang beragam. Apalagi jika pikniknya lumayan jauh. Pengalaman spasial ini penting untuk mengasah sensitivitas.

Apa misalnya? Tidak semua yang kita bayangkan normal dan baik-baik saja di sebuah konteks spasial, akan juga demikian halnya di konteks lain. Yang berlaku di Yogyakarta, misalnya, belum tentu berlaku di wilayah Indonesia lain.

Sebagai contoh, hasil penelitian bibit padi dengan tanah dan iklim di daerah A belum tentu menghasilkan produktivitas yang sama ketika ditanam di daerah B dengan karakteristik tanah dan iklim yang berbeda.

Sensitivitas terhadap konteks spasial tampaknya lebih mudah dibayangkan, karena kasat mata.

Dimensi sensitivitas lainnya adalah temporal. Ada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Apa yang tidak bermasalah di masa lampau, belum tentu sama di masa kini. Juda demikian halnya untuk masa depan.

Kedasaran temporal lebih sulit, karena harus menerka dampaknya di masa depan.

Ketika temuan ilmu pengetahuan dan teknologi diperkenalkan pertama kali, rasa bahagia dan takjub, biasanya hanya akan melihat sisi baiknya saja. Itu sangat wajar dan manusiawi. Tetapi perspektif temporal perlu melihat dalam horizon waktu yang jauh.

Kita ambil beberapa contoh. Robert Oppenheimer, ahli fisika berkebangsaan Amerika, yang dikenal sebagai bapak bom atom, menyesal karena bom atom buatannya telah membunuh ratusan ribu orang. Pada suatu saat, dia menyatakan, “tanganku berlumuran darah”.

Contoh lain. Mikhail Kalashnikov sang penemu senapan serbu AK-47, yang sangat terkenal karena desainnya yang sederhana, mudah diproduksi, dan mudah dirawat. Karena sadar, senapan tersebut digunakan di banyak peperangan dan konflik senjata dan telah membunuh banyak orang, suatu saat menjelang kematiannya, ia mengakui merasakan “penderitaan spiritual yang sangat perih”.

Jarang yang tahu, kalau Alfred Nobel yang kita kenal namanya sebagai sebutan penghargaan bagi tokoh dan ilmuwan dalam beragam bidang, juga yang menemukan dinamit. Awalnya dinamit digunakan untuk kepentingan sipil, tetapi kemudian juga untuk perang.

Sebelum meninggal, dia dihantui oleh kematian dan kerusakan yang diakibatkan oleh temuannya. Di dalam surat wasiat yang ditinggalkan, ia meminta kekayaannya dimanfaatkan untuk mendirikan yayasan yang merayakan pencapaian ilmu pengetahuan dan perdamaian.

Bukan berarti temuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mempunyai sisi positif. Banyak sekali. Namun, sisi negatif yang tidak jarang inheren di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu dimitigasi. Tetapi, kesadaran mitigasi tidak mungkin dilakukan tanpa sensitivitas yang memadai.

 

Dua sisi inteligensi artifisial

Perkembangan mutakhir juga bisa memberikan ilustrasi serupa. Salah satu teknologi yang banyak mendapatkan perhatian adalah artificial intelligence (AI) atau inteligensi artifisial (IA). Sebagian dari kita menyebutnya dengan kecerdasan buatan.

Penelusuran melalui mesin pencari Google dengan kata kunci “artificial intelligence” menemukan 628 juta entri. Ini belum termasuk hasil pencarian dengan variasi namanya, dalam bahasa atau istilah lain.

Seorang pakar IA, Stuart Russell (2019) dari Inggris, yang saat ini menjadi profesor di University of California, Berkey, termasuk yang mengajak kita menyadari potensi masalah yang dapat terjadi ketika IA berkembang ke depan. Ajakan ini merupakan pertanda sensitivitas yang baik.

IA telah banyak disalahgunakan untuk mengeksploitasi manusia oleh manusia lain. Misalnya, IA telah memudahkan surveilans, persuasi, dan juga kendali, termasuk mengendalikan perilaku kita.

Kuasa yang dihasilkan dari penggunaan teknologi seperti ini, oleh Shoshana Zuboff (2019) disebut dengan kuasa intrumentarianisme (instrumentarianism power). Zuboff mengontraskan kuasa jenis ini dengan kuasa totalitarianisme (totalitarianism power). Jika yang kedua menggunakan teror, yang pertama menggunakan teknologi untuk memodifikasi perilaku. IA dapat membantu implementasi pendekatan ini.

IA juga bisa melengkapi pengembangan senjata otonom yang mematikan. Tentu saja, IA juga dapat mengambil alih sebagian pekerjaan yang selama ini memerlukan kehadiran fisik manusia untuk melakukan.

Apa saran Russell?

Kita tidak boleh kehilangan optimisme. Kita juga harus memitigasi pengembangan IA dengan menerapkan prinsip-prinisp baru. Termasuk di antaranya adalah menjadikan IA lebih altrustik untuk kepentingan manusia yang baik, lebih rendah hati dengan mengenalkan ketidakpastian, dan lebih memahami preferensi manusia yang beragam.

 

Referensi

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. London: Profile Books.

Russell, S. (2019). Human compatible: Artificial intelligence and the problem of control. UK: Penguin.

Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. di Universitas Islam Indonesia pada 19 Januari 2023.

Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII), Drs. Allwar, M.S.c., Ph.D. berhasil meraih jabatan akademik tertinggi yakni Guru Besar Bidang Ilmu Kimia. Raihan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 74072/MPK.A/KP.07.01/2022. Dengan raihan ini, Prof. Allwar menjadi Guru Besar ke-3 di Jurusan Kimia UII, ke-6 di FMIPA, dan ke-29 di UII.

Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik dibacakan langsung oleh Penyelia Sumber Daya Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V D.I. Yogyakarta, Rahman Hakim, S.E., pada Kamis (19/01) di Gedung Kuliah Umum Prof. dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Momen bahagia ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube UII.

Read more

Guna mempercepat hilirisasi inovasi dan mempertemukan inovator dengan industri, Direktorat Pembinaan & Pengembangan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh Universitas Islam Indonesia (DPPK/Simpul Tumbuh UII) menyelenggarakan Innovation Festival (InnoFest) 2023. Acara yang berlangsung pada 18-19 Januari 2023 di Gedung K.H. Mas Mansyur Fakultas Teknologi Industri UII itu juga melibatkan Direktorat Penelitian & Pengabdian Masyarakat (DPPM) dan mitra industri. Acara akbar berskala nasional ini hadir dengan visi untuk mengembangkan ekosistem inovasi dan wirausaha.

Read more

Momen haru sekaligus membanggakan dirasakan oleh keluarga besar Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII). Pasalnya, FK UII menyumpah 105 orang dokter baru yang terdiri dari 32 laki-laki dan 73 perempuan. Sebagaimana disampaikan dr. Ana Fauziyati, M.Sc., Sp.PD. selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter UII pada acara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Dokter Periode LIX FK UII, pada Rabu (18/1), di Gedung Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir, Kampus UII Terpadu.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) membahas implementasi hibah proyek perdana dari program Erasmus dengan topik Overcoming Digital Divide in Europe and Southeast Asia (ODDEA). Implementasi dana hibah ini berlangsung selama 1 bulan di UII. 

Acara yang dihelat di My Kopi O, Jl. Candrakirana No.21, Terban, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta pada Rabu malam (18/01) dihadiri langsung oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., serta perwakilan dosen Internasional dari University of Economics in Bratislava (UEBA) Slovakia, Prof. Sofia Dimeli.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) melaksanakan acara seremoni penandatanganan nota kesepahaman dengan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, Jawa Barat. Acara yang digelar di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII pada Selasa (17/01) tersebut dihadiri oleh rombongan STAI Syamsul ‘Ulum. Adapun delegasi UII sendiri dipimpin oleh Rektor, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.

STAI Syamsul ‘Ulum sendiri merupakan lembaga pendidikan dalam naungan Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren (YASPI) Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi. Pondok pesantren tersebut didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi, salah satu Pahlawan Nasional yang turut menjadi tokoh pendiri Sekolah Tinggi Islam (STI), cikal bakal UII pada 1945.

Read more