Isu pelemahan KPK belum menemukan titik terang. Ditambah dengan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berpotensi menyingkirkan 75 anggota KPK berdedikasi tinggi. Posisi lembaga anti rasuah itu pun kian tidak menguntungkan. Hal ini mendorong Ikatan Mahasiswa Magister Hukum (IMAMAH) FH UII menyelenggarakan diskusi daring bertema “Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia: KPK antara Ada dan Tiada?” pada Kamis (8/7). 

Mengawali diskusi, Feri Amsari, MH., LLM., sudah melihat ada kejanggalan sejak adanya perubahan UU KPK pada tahun 2019. Pasalnya, ketika ada penolakan dari masyarakat hingga kemudian Presiden menolak untuk menandatangani UU KPK ini, faktanya UU KPK tetap bisa diberlakukan. 

Read more

Masyarakat Prancis punya momen bersejarah yang diperingati dengan meriah setiap tahunnya. Perayaan yang disebut Bastille day atau La Fete Nationale (Perayaan Nasional) atau Le Quattorze Juillet (Empat Belas Juli)itu jatuh tiap tanggal 14 Juli. Tanggal itu sekaligus menjadi penanda berakhirnya sistem monarki dan lahirnya sistem republik di negara menara Paris tersebut. Malam hari tanggal 13 Juli, masyarakat Prancis mendatangi markas pemadam kebakaran yang merupakan simbol kepahlawanan di masa kini. 

Read more

Program Studi Rekayasa Tekstil FTI UII mengadakan kegiatan Kuliah Tamu dengan menghadirkan narasumber Owner dan Designer Aruna Creative.ID, Yuliana Fitri, SE. Acara bertemakan ”Perkembangan dan Tantangan Dunia Desainer di Indonesia” itu diadakan secara virtual pada Rabu (7/7). Yuliana Fitri atau akrab disapa Ully dikenal memiliki banyak berprestasi di bidang designer. Ia pernah mewakili beberapa instansi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Fokusnya pada brand fashion etnik dan mendukung sustainable fashion.

Menurutnya, saat ini designer Indonesia tengah berkembang dan mengarah ke industri fashion. Konsumen menyukai pakaian kasual yang nyaman sebagai seragam dan merk mulai menarik minat konsumen melalui upcycling. “Upcycling adalah salah satu kampanye sustainable fashion, tetapi tidak berwujud cycle karena ada tekniknya sendiri,” jelasnya. 

Read more

Dua mahasiswa UII yakni, Retno Puspito Sari (Akuntansi 2018) dan Rifa Husniyyah (Akuntansi 2020) berhasil menyabet Juara I dalam lomba Call for Paper International Student Mobility (ISM) yang diadakan Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII dengan Mapua University, Filipina. ISM digelar secara daring selama 6-8 Juli 2021, diawali dengan diskusi bertajuk ASEAN’s ESG Outlook: How Business Can Think Beyond the Profit.

Ketika diwawancarai oleh Humas UII, keduanya mengaku tidak menyangka akan meraih predikat juara. Mereka bahkan kaget ketika nama mereka masuk dalam pusaran penyebutan juara.

Read more

Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII) bekerjasama dengan Mapua University, Filipina menggelar kegiatan International Student Mobility (ISM). Kegiatan yang digelar selama tiga hari ini, 6 – 8 Juli 2021, diawali dengan diskusi bertajuk ASEAN’s ESG Outlook: How Business Can Think Beyond the Profit. Selanjutnya kegiatan ISM diisi dengan lomba Call for Paper dan Kompetisi Business Plan.

Read more

Kami sadar bahwa topik di atas cakupannya cukup luas, multidimensi, dan menuntut kajian lebih luas dan dalam. Tulisan singkat ini diangkat dari kuliah umum di Universitas Islam Indonesia (UII) pada 27 Juni 2021 oleh Komaruddin Hidayat yang berjudul Menemukan Kembali Imajinasi Islam, dan diharapkan menjadi pemantik diskusi lanjutan.

Setiap bangsa besar memiliki akar tunggang budaya yang mengalami pasang surut. Oleh karenanya, budaya dan capaian peradaban sebuah bangsa dan tradisi agama bersifat dinamis. Di sana terdapat budaya dan agama yang sirna dan tak kunjung kembali. Di sini berlaku hukum Darwinisme sosial, sintasan yang paling cocok (survival of the fittest). Hanya mereka yang kuat dan bisa beradaptasi dengan cepat yang bisa bertahan dan berkembang.

 

Keredupan peradaban

Demikian pula halnya dengan peradaban Islam, yang menurut catatan, mulai meredup pada abad ke-11. Sejarawan menamakan abad ke-8 sampai dengan ke-13 sebagai Zaman Keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Istilah ini dipopulerkan oleh kalangan modernis muslim yang merasa kalah menghadapi kemajuan Barat, lalu mencari referensi dan motivasi ke masa lalu. Ratusan buku telah ditulis untuk mencari jawaban, apa penyebab utama kemunduran peradaban Islam dan mengapa Barat lalu menyalip dan berkembang jauh lebih cepat.

Ada pendapat, di antara penyebabnya adalah krisis politik dan ekonomi di sentra-sentra kekuasaan Islam yang membuat tradisi keilmuan terhenti. Para penguasa lebih fokus pada pemikiran fikih untuk mengendalikan perilaku rakyatnya. Sementara itu ulama lalu memilih kajian tasawuf untuk meraih ketenangan hidup. Peristiwa Perang Salib telah ikut merusak bangunan peradaban. Tradisi keilmuan beralih ke atmosfer peperangan.

Warisan peradaban Islam dalam bidang keilmuan terpecah dan menyempit. Ilmu-ilmu alam, sosial, dan humaniora justru dipelihara, dipupuk, dan dikembangkan di Eropa yang pada urutannya oleh dunia Islam dikucilkan dengan label ilmu umum atau sekuler. Sementara itu, dunia Islam lebih semangat mengembangkan ilmu fikih dan tasawuf yang dipandang sebagai inti ilmu keislaman dengan ikon Imam Al-Ghazali yang menulis karya sangat monumental: Ihya Ulum al-Din.

Memasuki abad modern, di kalangan muslim muncul kerinduan akan kebangkinan kembali peradaban Islam. Namun nampaknya, pendulum sejarah masih berjalan sangat lambat. Atau, dunia luar yang berjalan lebih cepat. Kita memang bisa belajar dari sejarah, tapi kita mungkin bukan murid yang cerdas dari sejarah. Diperlukan aktor dan institusi yang mendesain strategi dan punya peta jalan untuk eksekusinya. Tidak mudah bagi sebuah bangsa yang pernah maju peradabannya —seperti Yunani, Mesir, dan Irak,— untuk bangkit kembali.

 

Bingkai rekonstruksi

Mozaffari (1998), ahli politik kelahiran Iran yang saat ini mengajar di Universitas Aarhus Denmark, menawarkan peta jalan untuk membangun kembali peradaban Islam. Baginya, yang dibutuhkan saat ini adalah melakukan rekontruksi sejarah lampau. Rekonstruksi adalah proses intelektual: ada elemen lampau di sana yang mesti dipertahankan, tetapi dilengkapi dengan elemen kontekstual sesuai kebutuhan masanya.

Konsep ini berbeda dari proses reproduksi yang bersifat mekanistik dan menyalin masa lampau apa adanya untuk dihadirkan lagi. Reproduksi ini akan menjadikan muslim sulit beranjak dari tempatnya, karena hidup di bawah bayang-bayang masa lalu.

Dalam strategi rekonstruksi  pertanyaannya adalah: apa elemen-elemen fundamental masa lampau yang perlu dipertahankan dan apa pula elemen kontektual yang mesti diperhitungkan?

 

Elemen lampau

Ada elemen lampau yang bersifat perenial dan dapat kita lacak kembali pada masa awal Islam serta pada ajaran dasarnya. Pertama, semangat tauhid, sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah Sang Pencipta. Kesadaran ini, jika dimaknai dengan baik, akan menjadi sumber energi abadi.

Kesadaran ini pula yang mengantarkan kita pada pemahaman bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai rahmat bagi kaum muslim, tetapi bagi semesta alam. Elemen kedua yang harus terus dikawal: nilai kemanusiaan universal. Pesan universalisme Islam perlu dilantangkan. Inilah nilai yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik oleh banyak kalangan karena sifatnya yang inklusif dan apresiatif pada martabat manusia, apapun latar belakang agama, etnis dan budayanya. Pada abad-abad awal, Islam sudah berkembang melampaui batas-batas etnis dan kawasan yang telah mendorong munculnya peradaban baru di luar tradisi Arab.

Ketiga, ekletisisme implementasi ajaran Islam. Islam mengajarkan muslim bersifat terbuka terhadap hal-hal baik. Tentu, ini bukan berarti membuka pintu sinkretisme akidah, tetapi umat Islam bersikap apresiatif terhadap peradaban baru yang dijumpainya di mana pun mereka berada. Dalam konteks ini terjadi proses kreatif-dialektis antara “islamisasi nilai-nilai pribumi” dan “pribumisasi nilai-nilai Islam”. Dalam ungkapan lain, berlangsung kontekstualisasi ajaran Islam. Dengan demikian, kehadiran Islam akan dipahami sebagai bagian solusi dari masalah kemanusiaan.

Sikap ini pula yang menjadikan saintis muslim pada Zaman Keemasan membuka diri mempelajari pemikiran dari bangsa lain, termasuk Yunani. Warisan filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk oleh para sarjana Yahudi dan Kristen yang dipekerjakan pada pusat-pusat peradaban Islam. Sikap ini menunjukkan keterbukaan para saintis muslim saat itu yang penuh percaya diri ketika bertemu dengan dunia luar. Satu poin penting lain yang perlu dicatat adalah bahwa saintis muslim saat itu tidak hanya belajar dari peradaban lain, tetapi juga berkreasi mengembangkan dan memberikan karakter keislaman pada peradaban luar yang dijumpai.

 

Elemen kontekstual

Tuntutan zaman senantiasa dinamis dan berubah, sehingga membutuhkan respons dan solusi baru yang kontekstual. Tokoh dan pemikiran besar pada zamannya akan tidak lagi dianggap relevan sebagai respons yang tepat pada zaman yang berbeda. Dalam konteks kekinian, seorang muslim jangan terjebak pada pendekatan reaktif layaknya pemadaman api. Untuk itu ada berapa agenda yang perlu dipertimbangkan matang-matang.

Pertama, kalangan muslim perlu mendesain beragam masa depan kolektifnya. Masa depan tidak singular. Terlebih dengan kehadiran teknologi digital yang sangat membantu menghubungkan berbagai informasi yang tadinya tertutup dan tidak tersambung dengan yang lain. Wajah dunia semakin terlihat plural dan saling bersentuhan. Peta jalan dan imajinasi masa depan ini mesti kita bahas bersama secara reflektif-kontemplatif berdasarkan data dan pengalaman sejarah masing-masing bangsa dan negara.

Jangan paksakan ide masa depan singular. Keseragaman adalah sebuah utopia yang mengarah ke destopia. Agama dan budaya itu selalu plural. Dalam tubuh dunia Islam pun pluralitas ekspressi politik, budaya dan mazhab merupakan kenyataan. Di sinilah semangat ko-eksistensi perlu dikembangkan dengan menjaga prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan tauhid, kemanusiaan dan semangat membangun peradaban luhur sebagai wujud rahmatan lil’alamin. Kita bangun dan sepakati koridor besar yang akan ditapaki bersama, dan jangan terjebak pada satu garis yang akan sulit mengakomodasi keragaman.

Kedua, umat Islam pun harus secara proaktif mengikuti perkembangan mutakhir, termasuk dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Revolusi senyap yang didorong oleh beragam teknologi modern, seperti kecerdasan buatan, mahadata, Internet of things, dan biologi modern yang melahirkan neurosains, perlu dikuasai. Ini semua adalah kerja kolektif khususnya bagi kalangan intelektual kampus.

Mozaffari (1998) dalam bagian lain tulisannya mengusulkan, yang perlu diperjuangkan secara kolektif adalah Islam yang beradab (civilized Islam) yang hidup berdampingan dengan peradaban dunia lain. Karenanya, peradaban Islam harus mampu berkembang secara konsisten dan memberikan kontribusi yang bermakna untuk peradaban dunia.

Berkembangnya pemeluk Islam dari hari ke hari jika tidak diikuti prestasi keilmuan dan kontribusi pada peradaban dunia, akan menjadikan dunia Islam diposisikan pada garis koordinat pinggiran yang tidak produktif, meski secara demografis besar. Sekedar indikator kecil, selama pandemi ini tak ada negara muslim yang ikut berdiri di garis depan memproduksi vaksin untuk ikut serta mengatasi problem kemanusiaan. Yang sering terdengar justru konflik sesama mereka yang menyedot energi sangat besar.

Tulisan ini dibuat bersama Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, dan sudah diterbitkan di Republika pada 7 Juli 2021.

Peran Pemuda

Konflik Palestina-Israel tak kunjung usai hingga saat ini. Banyaknya cara yang telah ditempuh nampaknya belum menjadi solusi utama untuk dapat menyelesaikan konflik antara dua negara ini. Dalam upaya untuk menemukan solusi yang paling tepat mengatasi konflik Palestina-Israel ini, Takmir Masjid Al-Azhar (TMA) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan webinar virtual dengan tema “Mencari Solusi untuk Konflik Palestina-Israel” pada hari Minggu (4/7) melalui zoom meeting.

Read more

Peran Pemuda

Adanya surat pemanggilan Rektor UI kepada Lembaga BEM UI atas postingan ‘The King of Lips Service’ menandakan telah diciderainya kebebasan berpendapat di muka umum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945. Berangkat dari isu ini, Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII mengadakan webinar virtual yang bertemakan “Paradigma Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Kenegaraan” pada Minggu (4/7) melalui zoom meeting, dengan menghadirkan para narasumber yang ahli di bidangnya, yaitu Asfinawati (Direktur YLBHI) dan Feri Amsari (Dosen HTN FH Universitas Andalas).

Read more

Mahasiswa FIAI Sabet Juara 1 Artikel Ilmiah Nasional

Sadar atau tidak, saat ini kita sedang menghadapi dua fase disrupsi, yaitu Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi Covid-19. Bagi yang akan melanjutkan kuliah, tentu perlu dipertimbangkan seperti apa gambaran antara kuliah dan dunia kerja, agar mampu menjawab tantangan kedua fase tersebut. Program Studi Rekayasa Tekstil Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (FTI UII) mengadakan webinar bertajuk Persiapkan Diri Menghadapi Tantangan Dunia Kerja. Pada Sabtu (3/7), webinar tersebut diadakan di ruang virtual.

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Tim Bantuan Medis Mahasiswa (TBMM) HUMERUS Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) mengadakan webinar mengenai Efektivitas plasma kovalen sebagai terapi Covid-19 yang tengah gencar dilakukan beberapa bulan terakhir, pada Sabtu (3/7).

Read more