Hiruk pikuk menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sudah terasa menghangat. Percakapan warganet di media sosial mengindikasikan hal ini dengan sangat jelas. Kedua kubu telah menyebar beragam informasi yang saat ini sulit dibedakan, mana yang benar dan mana yang bohong (hoaks). Kondisi ini tentu membahayakan. Banyak orang yang tidak mempunyai daya nalar dan akses informasi yang cukup, berada dalam arus yang bisa menjadi liar ini tanpa sadar.

Polarisasi dan kontestasi

Polarisasi pendukung kedua kubu sangat terasa. Momentum kampanye yang sudah mulai, seakan mengamplifikasi polarisasi serupa yang benihnya sudah tersemai mulai 2014. Benih ini dalam beberapa tahun terakhir seakan tumbuh menjadi semak belukar yang berpotensi merusak tenun kebangsaan. Jika tren ini kita biarkan, persatuan bangsa menjadi taruhan mahal.

Sebagian dari kita bisa jadi adalah politisi, atau paling tidak simpatisan, yang menjadi bagian dari kedua kubu yang masuk lapangan kontestasi. Pilihan tersebut adalah tugas mulia, mengawal negara ini ke arah yang lebih baik. Tetapi, ketika segala cara dilakukan untuk memenangkan kontestasi, maka nurani telah digadaikan dan kuasa dijadikan tujuan utama. Salah satu praktik sesat yang selama ini banyak dilakukan adalah produksi informasi bohong alias hoax.

Ironisnya, saat ini menjadi sangat sulit membedakan antara informasi valid dan menyesatkan. Sebagian informasi ini diproduksi oleh warganet Indonesia yang menyebar melalui beragam kanal media sosial. Perkembangan mutakhir menunjukkan fenomena yang jauh dari cita-cita untuk membawa bangsa ini menjadi lebih matang dalam berdemokrasi dan dewasa dalam berpolitik.

Mahadata dan gagasan

Kegaduhan di media sosial telah menjadi kabut hitam penutup gagasan segar yang dimunculkan oleh warganet yang masih waras. Gagasan segar tersebut seringkali terkubur di antara mahadata (big data) dengan volume yang luar biasa di media sosial. Alih-alih membenamkan diri ke dalam kegaduhan tersebut, kita bisa menggunakan energi positif kita untuk menambang dan menghasilkan gagasan bernas dari mahadata tersebut.

Berangkat dari kesadaran kolektif tersebut, komunitas dosen muda di Yogyakarta menggagas gerakan Jogja Mendaras data (JMD). Gerakan ini dengan dukungan sistem Drone Emprit Academic yang dikembangkan oleh Media Kernels Indonesia, menambang percakapan warganet di Twitter. Mahadata hasil penambangan ini menjadi dasar analisis yang dapat menghasilkan tilikan-tilikan yang bermanfaat untuk mengedukasi dan mengajak publik bergerak serta memberi masukan ke pengambil kebijakan. Tilikan ini menawarkan narasi alternatif. Inilah politik gagasan yang dapat dilakukan tanpa tidak terjun langsung ke dalam partai politik atau terlibat dalam politik praktis.

Politik gagasan diperlukan untuk menjaga kewarasan dalam berpolitik untuk tidak mengabaikan kepentingan bangsa yang lebih besar dan berhorison jauh. Karenanya, kontestasi yang ada seharusnyalah melibatkan adu gagasan cerdas. JMD menyatakan dirinya tidak netral, tetapi berpihak: bukan ke salah satu kubu, tetapi kepada kebenaran. Kebenaran di sini harus berdasar data. Deklarasi sikap ini sangat penting di era pascakebenaran (post-truth), ketika perasaan lebih mengemuka dan kepala yang panas tidak diimbangi dengan hati yang dingin. Hati yang dingin akan menjaga kita tetap objektif dan membuka diri untuk menerima informasi benar, dari manapun asalnya. Mari, jaga akal sehat kita dengan politik gagasan!

Ditulis bersama dengan Ismail Fahmi. Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Opini Harian Kedaulatan Rakyat dengan judul ‘Data Raya dan Politik Gagasan’ pada 19 Oktober 2019

 

Universitas Islam Indonesia (UII) mempunyai komitmen menghasilkan lulusan dengan kemampuan dan kompetensi mumpuni di bidangnya, termasuk dalam dunia industri. Salah satu upaya dilakukan oleh Program Studi D3 Perbankan dan Keuangan UII dengan menjaring kerjasama dengan mitra-mitra, khususnya di bidang perbankan dan keuangan dalam hal magang mahasiswa.

Read more

Program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) kembali melahirkan 35 dokter baru yang terdiri dari 13 dokter laki-laki dan 22 dokter perempuan. Hal ini sebagaimana tergambar pada prosesi Pelantikan dan Sumpah Dokter Angkatan XLIII bertempat di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir Universitas Islam Indonesia pada Rabu (17/10). Acara ini dihadiri perwakilan Ikatan Dokter Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. dr. Probosuseno, Sp.PD., -Kger, perwakilan Dinas Kesehatan DIY, Drg. Pembayun Setyaningastutie, M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran UII, dr. Linda Rosita, M. Kes, Sp. PK, dan Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.

Read more

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. Sefriani, S.H., M.Hum. berhasil menyandang gelar Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Internasional. Capaian ini menjadikannya sebagai Guru Besar ke-16 di lingkungan UII.

Pengangkatan sebagai Guru Besar ditandai dengan penyerahan Surat Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI pada Selasa (16/10), di Gedung Prof. Dr. Sardjito UII, oleh Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLPT) Wilayah V Yogyakarta, Dr. Ir. Bambang Supriyadi, CES., DEA., kepada Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dan diserahkan kepada Dr. Sefriani, S.H., M.Hum.
Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) bersepakat menjalin kerjasama dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN). Kesepakatan ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman kerjasama oleh Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dan Kepala BNN Drs. Heru Winarko, S.H., pada Senin (15/10), di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII.

Read more

Departemen Kajian Penelitian LEM FMIPA UII menyelenggarakan acara Science and Discussion 2018 (Session 2018) dengan tema “Peran mahasiswa dalam mendukung kebijakan strategi SDGs (Sustainable Development Goals).”. Acara tersebut berlangsung pada Sabtu dan Minggu (13-14/10), bertempat di GKU Prof. Dr. Sardjito, MD., MPH, Kampus Terpadu UII.

Read more

Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (LEM FMIPA UII) menyelenggarakan kegiatan “Science Festival” dengan tema “Menjalin silaturahmi dengan mengembangkan potensi dan sportifitas”. Acara ini diselenggarakan di lapangan parkir Lapangan FMIPA UII, pada Sabtu (13/10).

Read more

Bencana gempa yang melanda Palu 28 September 2018 meninggalkan kerusakan yang cukup parah. Untuk membantu pemulihan roda perekonomian di lokasi bencana, UII kembali mengirimkan bantuan logistik dan kebutuhan pokok. Penyaluran bantuan ini bekerjasama dengan lembaga kemanusiaan ACT pada Jumat siang (12/10). Seminggu sebelumnya UII juga mengirimkan bantuan logistik dengan jumlah sebanyak 6 truk logistik.

Read more

Pondok pesantren (ponpes) sebagai lembaga tempat menuntut ilmu menjadi sarana berkumpulnya para santri dari berbagai daerah. Sayangnya, lingkungan ponpes seringkali dihadapkan pada masalah kesehatan dan fasilitas yang kurang memadai. Hal ini berdampak munculnya berbagai penyakit infeksi menular, terutama penyakit skabies. Masalah ini mendapat sorotan dari sivitas akademika UII. Mereka berupaya menggerakkan peran relawan kesehatan di lingkungan ponpes (RESKESTREN) untuk meningkatkan taraf kesehatan para santri di sana.

Read more

Bangsa Indonesia sebentar lagi menghelat pemilihan presiden yang dibarengkan dengan pemilihan legislatif pada April 2019. Hari ini, suasana persiapan pesta sudah terasa hangat.

Pesta demokrasi empattahunan ini , di sisi sangat strategis untuk menghasilkan pemimpin nasional dan wakil rakyat yang berkualitas negarawan, tetapi di sisi lain, ekses dari pesta yang tidak sehat dapat menggurat luka sangat dalam bagi yang belum dewasa dalam berpolitik.

Saya yakin, semua sepakat bahwa sisi gelap pesta demokrasi ini harus kita hindarkan, supaya bangsa ini tidak semakin menyia-nyiakan energi positifnya untuk aktivitas yang tanpa dampak. Termasuk dalam penyia-nyian energi bangsa adalah praktik penyebaran hasutan dan ujaran kebencian yang tiada berbatas. Informasi plintiran dan bahkan bohong (hoaks) diproduksi untuk kepentingan jangan pendek tanpa mempedulikan rajutan keragaman bangsa.

Kepemimpinan profetik yang dilandasi teladan Rasulullah, bagi saya, selain membahas kualitas pribadinya, seharusnya tidak mengabaikan sikap pribadi (standpoint) untuk beragam isu penting bangsa.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengangkat satu topik yang seharusnya menjadi perhatian para pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini karena statusnya yang  sudah akut dan kritis, yaitu terkait dengan penyebaran hoaks.

Mengapa isu ini menjadi penting? Pengalaman lampau kita mengajarkan bahwa dalam musim pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, produksi hoaks meningkat tajam. Tidak jarang, meski sering dielak, hoaks menjadi bagian strategi pemenangan dan menhinakan lawan. Bisa jadi tim kampanye formal tidak menuliskan ini dalam daftar strateginya, tetapi sikap tegas terhadap penyebaran hoaks seringkali bersifat ambigu dan abu-abu.

Seyogyanyalah, bukan karena hoaks yang menyebar menguntungkan diri atau jagonya, maka kemudian mata seakan buta. Bukan karena hoaks yang bersliweran menghinakan lawannya, telinga seakan tuli. Juga, bukan karena hoaks tidak mengganggu dirinya, hati menjadi mati.

Kepemimpinan profetik juga seharusnya tidak menutup mata terhadap pendukungnya yang mengabaikan nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti kejujuran dan kedamaian; sesuatu yang seringkali sulit ditampik dalam pemenangan kontestasi politik. Kualitas pendukung pemuja hasutan dan anti stabilitas sosial, selama menguntungkan dirinya, lantas tidak ditegur dan diarahkan. Sikap yang tegas tidak diberikan. Sikap seperti ini tentu jauh dari kualitas pemimpin yang mengusung nilai-nilai kenabian, kepemimpinan profetik.

Mari sejenak kita kupas beragam aspek terkait dengan hoaks dan penyebarannya.

Pertama, mengapa kita (manusia) menyebar hoaks? Riset menunjukkan bahwa banyak keputusan yang kita ambil, seringkali bukan karena rasionalitas individu, tapi berdasar narasi kelompok. Di sini, kredibilitas sumber sangat mempengaruhi interpretasi sosial atas informasi. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kita adalah pencari informasi yang bias; kita mencari informasi yang mendukung pandangan kita dan mengabaikan informasi yang berseberangan. Karenanya, membetulkan informasi yang salah tidak serta merta mengubah kepercayaan orang. Hasilnya adalah kamar gema, ketika informasi senada berulang dan beredar di kalangan tertutup. Di sini, biasanya terjadi eksposur terpilih terhadap informasi yang beredar dan bias konfirmasi karena kecenderungan untuk mencari informasi yang mendukung pemahaman sebelumnya.

Kedua, bagaimana hoaks menyebar? Fitur berbagi sosial media merupakan sumber kuat penyebar hoaks. Proses berbagi ini dapat dilakukan oleh pegiat media sosial atau bot, program yang ditujukan untuk maksud serupa. Media sosial yang difasilitasi Internet telah menghadirkan kekayaan informasi di satu sisi, memunculkan kemiskinan atensi individu atas informasi di sisi lainnya. Hal ini, sampai tingkat tertentu, akan mencegah pemilahan informasi berdasar kualitas. Informasi berkualitas rendah dan tinggi sama-sama dapat menyebar dengan cepat.

Biasanya, informasi, baik hoaks atau fakta, menjadi viral tidak melalui rangkaian pertukaran informasi yang panjang antarpengguna-biasa. Dalam konteks ini, media, pesohor, atau tokoh dengan banyak pengikut dapat menyebar informasi dengan jangkauan luas memperpendek rangkaian.

Ketiga, siapa penyebar hoaks? Hoaks dapat disebar oleh beragam aktor: individu, organisasi bermotivasi finansial/politis, atau bahkan pemerintah/negara. Kita dapat menjadi penyebar hoaks ketika ‘ringan jari’ dalam membagi informasi tanpa verifikasi. Partai politik dan simpatisannya juga tidak kalis dari potensi menjadi pelaku jika menghalalkan semua cara dalam memenangkan kontestasi. Ketika pemerintah memberikan informasi yang menutupi fakta yang ada, tidak sulit menyatakan bahwa mereka juga dalam golongan ini.

Keempat, mengapa kita percaya atau tidak hoaks? Setiap dari kita mempunyai pandangan dunia yang berdasar pada konsep, kepercayaan, dan pengalaman, untuk menginterprstasikan dan menilai realitas. Jika hoaks yang kita terima sesuai dengan pandangan dunia kita, maka kita akan cenderung percaya dengan hoaks tersebut. Persepsi terhadap ancaman yang muncul karena hoaks juga mempengaruhi tingkat kepercayaan kita. Jika hoaks tersebut menimbulkan potensi masalah yang berdampak kepada kita, tidak jarang kita mudah mempercayainya. Repetisi kemunculan hoaks atau frekuensi kita berjumpa dengan hoaks serupa juga memicu tingkat kepercayaan.

Kelima, apa dampak hoaks? Beragam dampak hoaks dapat diidentifikasi dengan mudah. Segregasi atau polarisasi sosial adalah salah satunya. Tidak sulit mencari ilustrasi kasus ini di seputar musim pemilihan kepala daerah. Sialnya, polarisasi ini juga terbawa ke dunia nyata. Dampak buruk lain adalah terbentuknya masyakarat masokhis tuna empati yang cenderung sarkastik dan menikmati penderitaan orang lain. Ujungnya adalah tertutupnya manfaat media sosial.

Keenam, apa yang bisa kita lakukan untuk menghalau hoaks? Biasakan menjadi manusia yang berpikiran terbuka dan terlatih dalam diskusi yang dilandasi fakta. Pendekatan ilmiah berbasis data tanpa bias diperlukan. Selain itu, suarakan kebenaran dengan lebih lantang. Di sini, publik perlu diedukasi untuk membentuk ‘ketahanan informasi’, bersikap kritis terhadap setiap informasi yang diterima, tidak menelannya mentah-mentah, dan tidak asal menyebarkannya. Pemahaman dan keataan atas nilai-nilai kemanusiaan universal yang dibawa oleh norma agama juga menjadi sangat penting. Ini adalah rem paling pakem. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebar kebencian dan berperilaku anti kedamaian dengan menyebar hoaks.

Mari, perlebar perspektif  dan perpanjang horison kemanusiaan kita. Bisa jadi saat ini, kita diam melihat hoaks mengoyak tenun kebangsaan kita. Atau, bahkan menjadi bagian gerombolan penyebar tanpa merasa bersalah. Tapi kita perlu ingat, bisa jadi, kita pun dapat menjadi korban dari hoaks.

Tentu, mengambil sikap hanya ketika menjadi korban adalah pilihan pengecut dan mementingkan diri sendiri. Sikap seharusnya, bukan karena kita dapat apa atau terkena dampak, tetapi didasarkan pada nilai-nilai kebajikan abadi yang anti penyebaran hasutan dana kebencian.

Jika kebencian itu masih ada, sebagian orang mengatakan itu sangat manusiawi. Tapi, mari upayakan tidak menujukan kebencian kepada pribadi tetapi kepada gagasan atau program. Kalau kata kebencian tetap dipertahakankan, mari berikan sifat untuknya manjadi “kebencian yang akademik”. Ada adu argumen di sana. Ada tukar gagasan cerdas di dalamnya. Jika sintesis masih belum terlaksana, atsar Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang terekam dengan indah dalam Kitab Nahjul Balaghah dapat menjadi benteng terakhir:

“Cintailah kekasihmu itu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan mencintainya suatu ketika”

 ——

Disarikan dari Pidato Kunci pada  Seminar Nasional “Kepemimpinan Profetik” yang diselenggarkan pada 13 September 2018