Setiap perguruan tinggi merupakan entitas unik. Mereka lahir di ruang sejarah yang berbeda dan dibangun di atas kesadaran yang beragam, meski ada irisan di sana. Karenanya, mengandaikan keseragamaan untuk semuanya, merupakan sesuatu yang melawan fakta.
Hanya saja, di lapangan, kesadaran ini tidak mengemuka, atau paling tidak, bukan yang menggema. Selalu saja ada upaya untuk melihatnya secara serupa.
Ini adalah tantangan setiap perguruan tinggi untuk kembali melakukan refleksi secara kolektif. Termasuk di antaranya adalah untuk menemukan dan menegaskan kembali misi yang diembannya. Cara paling sederhana adalah menyelisik nilai-nilai yang diyakini dan ditanamkan oleh para pendirinya. Universitas Islam Indonesia (UII) pun tidak berbeda.
Dua kubu
Tantangan itu semakin nyata ketika ideologi baru merasuk dalam pengelolaan perguruan tinggi. Beragam predikat disematkan, mulai neoliberalisme, birokratisasi, sampai dengan korporatisasi. Semuanya mengandung makna yang dipercaya tidak sejalan dengan idealisme atau misi asasi kehadiran sebuah perguruan tinggi.
Setiap kubu punya pendukung dan penggemarnya, dengan argumentasinya masing-masing. Meski, keduanya pun punya irisan dalam praktik. Tentu, meja diskusi dapat dibuka. Inilah asyiknya dunia akademik, ketika beragam perspektif mendapatkan tempat untuk diungkap ke ruang publik.
Jika ingin disederhanakan, pembeda kedua kubu ini adalah pada basis nilai yang melandasi gerak. Manifestasinya adalah beragam praktik yang sampai level tertentu dapat melupakan perguruan tinggi dari misinya.
Kita ambil beberapa ilustrasi. Kubu neoliberal mengagungkan persaingan tanpa ampun, sedangkan kubu ideal, lebih menghargai persandingan alias kemitraan. Tidak jarang, atas nama persaingan, publik pun dimanipulasi dengan beragam informasi yang diglorifikasi. Etos kecendekiawanan pun tidak lagi mendapatkan perhatian cukup, asal peringkat perguruan tetap di pucuk. Edukasi publik seakan tidak mendapatkan tempat lagi.
Pengamal kubu neoliberal menikmati birokratisasi sebagai bos, sedang yang satunya mengedepankan semangat kolegial yang dianggap tidak modern atau bahkan tidak sejalan dengan kemajuan. Tidak jarang, pemimpin penganut kubu yang kedua, dianggap pemimpin lemah karena tidak mau memaksa.
Tentu, bagi penganut setiap kubu, serangkaian kilah dapat disampaikan. Inilah indahnya otak manusia yang mampu memproduksi beragam argumentasi. Apalagi praktik kedua kubu ini ini tidak mempunyai garis demarkasi yang selalu tegas dan tidak saling bebas (mutually exclusive) sepanjang masa. Setiap perguruan tinggi, bisa jadi menjalankan praktik kedua kubu, meski nilai pijakannya tidak kompatibel. Sebagian mendasarkan pada desain sadar, sedang yang lain karena kekangan yang tak bisa dihindari.
Pilihan berlabuh
UII akan berlabuh di kubu mana? Ini sebetulnya pilihan sederhana dari dua pilihan, tetapi mempunyai implikasi rumit yang tidak semua perguruan tinggi sanggup menerimanya. Berlabuh di kubu idealisme secara normatif benar dan sulit mencari yang tidak sepakat. Tetapi, jika pilihan ini berimbas pada peringkat perguruan tinggi dengan basis sistem metrik yang cenderung abai pada keunikan, misalnya, keraguan mulai menggelayut.
Idealisme yang menjaga semangat kolegialitas seringkali dianggap lambat dalam merespons perubahan. Keputusan kolektif seringkali dinilai terlalu banyak melibatkan kompromi politis dari begaram aktor yang terlibat. Sebaliknya, pendekatan korporat dipercaya akan menjadikan kampus semakin melesat, meski tidak jarang diikuti dengan penggadaian sebagian akal sehat.
Apa jalan keluarnya? Ada masanya, refleksi jujur perlu dilakukan secara kolektif dengan tabula rasa yang kalis kepentingan sesaat dan menggantikannya dengan nilai-nilai asasi. Jika ini dilakukan, akan muncul beragam jalan tengah yang disepakati bersama dan sekaligus disadari risikonya.
Namun ada syarat mutlak untuk dapat melakukan refleksi yang bermakna. Termasuk di antaranya adalah dengan tidak menjebakkan diri pada narasi publik. Independensi dalam bersikap memang tidak selalu nyaman, apalagi di tengah gempuran praktik neoliberalisme yang dianggap sebagai norma baru. Tidak hanya di kancah nasional maupun internasional, tetapi juga di dalam kampus sendiri.
Mari, lihat diskursus ini, sebagai sebuah dinamika yang perlu disyukuri. Diskusi dengan hati dingin harus terus dilakukan untuk merespons perubahan yang tak henti dengan tetap merawat misi. Semoga Allah senantiasa memudahkan UII.
Tulisan ini sudah dimuat di UIINews ediri April 2022.
Merawat Misi Universitas
Setiap perguruan tinggi merupakan entitas unik. Mereka lahir di ruang sejarah yang berbeda dan dibangun di atas kesadaran yang beragam, meski ada irisan di sana. Karenanya, mengandaikan keseragamaan untuk semuanya, merupakan sesuatu yang melawan fakta.
Hanya saja, di lapangan, kesadaran ini tidak mengemuka, atau paling tidak, bukan yang menggema. Selalu saja ada upaya untuk melihatnya secara serupa.
Ini adalah tantangan setiap perguruan tinggi untuk kembali melakukan refleksi secara kolektif. Termasuk di antaranya adalah untuk menemukan dan menegaskan kembali misi yang diembannya. Cara paling sederhana adalah menyelisik nilai-nilai yang diyakini dan ditanamkan oleh para pendirinya. Universitas Islam Indonesia (UII) pun tidak berbeda.
Dua kubu
Tantangan itu semakin nyata ketika ideologi baru merasuk dalam pengelolaan perguruan tinggi. Beragam predikat disematkan, mulai neoliberalisme, birokratisasi, sampai dengan korporatisasi. Semuanya mengandung makna yang dipercaya tidak sejalan dengan idealisme atau misi asasi kehadiran sebuah perguruan tinggi.
Setiap kubu punya pendukung dan penggemarnya, dengan argumentasinya masing-masing. Meski, keduanya pun punya irisan dalam praktik. Tentu, meja diskusi dapat dibuka. Inilah asyiknya dunia akademik, ketika beragam perspektif mendapatkan tempat untuk diungkap ke ruang publik.
Jika ingin disederhanakan, pembeda kedua kubu ini adalah pada basis nilai yang melandasi gerak. Manifestasinya adalah beragam praktik yang sampai level tertentu dapat melupakan perguruan tinggi dari misinya.
Kita ambil beberapa ilustrasi. Kubu neoliberal mengagungkan persaingan tanpa ampun, sedangkan kubu ideal, lebih menghargai persandingan alias kemitraan. Tidak jarang, atas nama persaingan, publik pun dimanipulasi dengan beragam informasi yang diglorifikasi. Etos kecendekiawanan pun tidak lagi mendapatkan perhatian cukup, asal peringkat perguruan tetap di pucuk. Edukasi publik seakan tidak mendapatkan tempat lagi.
Pengamal kubu neoliberal menikmati birokratisasi sebagai bos, sedang yang satunya mengedepankan semangat kolegial yang dianggap tidak modern atau bahkan tidak sejalan dengan kemajuan. Tidak jarang, pemimpin penganut kubu yang kedua, dianggap pemimpin lemah karena tidak mau memaksa.
Tentu, bagi penganut setiap kubu, serangkaian kilah dapat disampaikan. Inilah indahnya otak manusia yang mampu memproduksi beragam argumentasi. Apalagi praktik kedua kubu ini ini tidak mempunyai garis demarkasi yang selalu tegas dan tidak saling bebas (mutually exclusive) sepanjang masa. Setiap perguruan tinggi, bisa jadi menjalankan praktik kedua kubu, meski nilai pijakannya tidak kompatibel. Sebagian mendasarkan pada desain sadar, sedang yang lain karena kekangan yang tak bisa dihindari.
Pilihan berlabuh
UII akan berlabuh di kubu mana? Ini sebetulnya pilihan sederhana dari dua pilihan, tetapi mempunyai implikasi rumit yang tidak semua perguruan tinggi sanggup menerimanya. Berlabuh di kubu idealisme secara normatif benar dan sulit mencari yang tidak sepakat. Tetapi, jika pilihan ini berimbas pada peringkat perguruan tinggi dengan basis sistem metrik yang cenderung abai pada keunikan, misalnya, keraguan mulai menggelayut.
Idealisme yang menjaga semangat kolegialitas seringkali dianggap lambat dalam merespons perubahan. Keputusan kolektif seringkali dinilai terlalu banyak melibatkan kompromi politis dari begaram aktor yang terlibat. Sebaliknya, pendekatan korporat dipercaya akan menjadikan kampus semakin melesat, meski tidak jarang diikuti dengan penggadaian sebagian akal sehat.
Apa jalan keluarnya? Ada masanya, refleksi jujur perlu dilakukan secara kolektif dengan tabula rasa yang kalis kepentingan sesaat dan menggantikannya dengan nilai-nilai asasi. Jika ini dilakukan, akan muncul beragam jalan tengah yang disepakati bersama dan sekaligus disadari risikonya.
Namun ada syarat mutlak untuk dapat melakukan refleksi yang bermakna. Termasuk di antaranya adalah dengan tidak menjebakkan diri pada narasi publik. Independensi dalam bersikap memang tidak selalu nyaman, apalagi di tengah gempuran praktik neoliberalisme yang dianggap sebagai norma baru. Tidak hanya di kancah nasional maupun internasional, tetapi juga di dalam kampus sendiri.
Mari, lihat diskursus ini, sebagai sebuah dinamika yang perlu disyukuri. Diskusi dengan hati dingin harus terus dilakukan untuk merespons perubahan yang tak henti dengan tetap merawat misi. Semoga Allah senantiasa memudahkan UII.
Tulisan ini sudah dimuat di UIINews ediri April 2022.
Manajemen Waktu, Kunci Fathiyatul Mudzkiroh Raih Mawapres UII
Fathiyatul Mudzkiroh, mahasiswi S1 Pendidikan Dokter Universitas Islam Indonesia (UII) terpilih sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) tingkat UII tahun 2022. Mahasiswi yang akrab disapa Tia ini ternyata menggunakan strategic approach untuk mengatur waktunya hingga bisa menggunakan potensi diri secara maksimal. “Capaian untuk Mawapres tidak dapat diraih hanya dalam 1-2 bulan saja,” ujarnya saat diwawancara pada Kamis (7/4).
Read more
Tantangan Umat Islam di Era Modernisasi
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah menjadi problem yang tidak kunjung tuntas. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya umat Islam di Indonesia yang apatis terhadap kegiatan ibadah.
Read more
UII Teruskan Sinergi Kerja Sama dengan USIM Malaysia
Universitas Islam Indonesia (UII) terus memperkuat kerjasama dengan perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana tergambar melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) pada Rabu (4/6). Penandatanganan MoU ini merupakan perpanjangan dari MoU yang sebelumnya sudah pernah disepakati pada tahun 2018. MoU diadakan secara daring dengan platform Zoom Meetings.
Dalam sambutannya, Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D menegaskan bahwa kerja sama diharapkan mampu memberikan manfaat khususnya dalam mobilitas internasional bagi sivitas akademika kedua universitas. “Kita berharap kerja sama ini bisa mencakup hal yang lebih luas lagi. Selain menyambung persaudaraan juga bisa mempererat hubungan keilmuan.” Ujarnya.
Read more
Peran Pemuda Intelektual Muslim dalam Membangun Negeri
Gubernur Jawa Barat, Dr. (H.C). Mochamad Ridwan Kamil, S.T., M.U.D. menjadi pembicara dalam Diskusi Civitas Akademika bertemakan “Peran Pemuda Intelektual Muslim Membangun Negeri yang Berprestasi” di Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (5/4) sore.
Read more
Yuk Buruan Daftar IISMA, Pendaftaran Ditutup 12 April
Program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) Tahun 2022 akan ditutup pada 12 April mendatang. Merespon hal itu, Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII mengadakan seleksi internal bagi mahasiswa yang memenuhi prasyarat untuk mengikuti kegiatan tersebut. Tujuan seleksi internal ini adalah untuk memastikan bahwa mahasiswa yang nantinya mendapat surat rekomendasi dari universitas memang layak mengikuti seleksi IISMA 2022.
Sebagaimana tergambar dalam webinar sharing session “Ngabuburit IISMA” yang ditujukan untuk mahasiswa yang berminat melakukan seleksi internal UII. Kegiatan itu berlangsung pada Ahad (03/04) menjelang berbuka puasa secara daring.
Read more
Mencari Jalan Menuju Allah
Memanfaatkan keistimewaan bulan Ramadan dengan kegiatan ibadah menjadi hal yang diupayakan setiap Muslim. Terlebih Ramadan sangat tepat untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Demikian ungkapan Ustadz Tajul Muluk S.Ud, M.Ag. saat memberikan ceramah pada acara Spesial Senja (04/04) di Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakir, kampus terpadu UII.
Dalam acara yang bertemakan “Ramadan Titik Balik Upgrade Kualitas Iman” itu, ia menyampaikan bahwa umat muslim sepatutnya selalu menyikapi masalah dengan berserah diri kepada Allah. Semisal dengan menghadapi masalah dengan tenang dan tidak berlebih-lebihan saat mendapat kenikmatan.
Read more
Humerus Giatkan Berbagi di Bulan Ramadan
Bulan Ramadan adalah bulan rahmat dan kebaikan. Perbuatan baik akan diganjar berkali lipat. Tim Bantuan Medis Mahasiswa (TBMM) Humerus Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) mengisi bulan suci ini dengan menebar kebaikan. Salah satunya melalui Humerus Sharing (Humish), dengan berbagi di Panti Asuhan Putri Muhammadiyah Pakem pada Minggu (3/4).
Read more
Ramadan Sebagai Momen Kebangkitan Melawan Pandemi
Menyambut bulan suci Ramadan, Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Kajian Special Senja pada Minggu (3/4). Kajian ini berlangsung sore hari di Auditorium Prof K.H. Abdulkahar Mudzakkir atau menjelang waktu buka puasa. Adapun Ustadz Drs. Imam Mujiono, M.Ag. yang merupakan dosen Pendidikan Agama Islam UII hadir sebagai pembicara dengan mengangkat topik “Bulan Puasa Sebagai Momen Kebangkitan Melawan Pandemi”.
Read more
Mahasiswa FIAI Sabet Juara 1 Artikel Ilmiah Nasional
Kompetisi Menulis Artikel Ilmiah Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Faklutas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat berbuah manis bagi Nur Laelatul Qadariyah. Mahasiswi Jurusan Ahwal Syakhshyiyah (AS) FIAI UII ini sukses meraih juara 1 dalam lomba Menulis Artikel Ilmiah tingkat Nasional. Judul yang ia tawarkan adalah “Pengaruh Batasan Perkawinan UU Nomor 16 Tahun 2019 Terhadap Ketahanan keluarga di Indonesia”.
Lomba yang bertemakan “Dinamisasi Hukum Keluarga Islam Dalam Menjawab Tantangan Zaman” itu diselenggarakan dengan melalui beberapa tahapan. Tanggal 20 Februari sampai 20 Maret 2022 merupakan seleksi pengumpulan artikel, kemudian pada 21 sampai 27 Maret tahap penyeleksian dan tanggal 28 Maret tanggal penentuan pengumuman pemenang.
Saat diwawancara Bidang Humas UII, Nur Laelatul Qadariyah mengaku tidak percaya bisa meraih juara 1. “Sejujurnya saya tidak menyangka dan tidak pernah berfikir akan memenangkan perlombaan ini. Apalagi untuk menjadi juara, karena pada dasarnya saya mengikuti perlombaan ini untuk mengasah kemampuan saya dalam menulis artikel ilmiah,” ungkapnya mengomentari hasil kompetisi yang diselenggarakan secara online itu.
Ia juga menceritakan bahwa pengerjaan artikel tersebut terbilang cukup singkat. “Sebenarnya persiapan saya kurang matang, hal ini karena waktu pengerjaan yang saya mulai H-3 dari deadline yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan faktor bersamaan dengan tugas-tugas kuliah yang banyak dan memang dekat sekali dengan deadline. Maka dari itu sebisa mungkin saya memaksimalkan waktu, agar dua-duanya bisa terselesaikan dengan baik,” ucap Nur Laelatul Qadariyah.
Bersaing dengan Universitas Ternama
Ela sapaan akrab Nur Laelatul Qadariyah, sempat terkejut saat mengetahui pesaingnya dari Universitas tenama di Indonesia, seperti UIN Maulana Malik Ibrahim, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam bergengsi lainnya. Akan tetapi ia tetap berusaha untuk menyajikan penamiplan terbaiknya. Usahanya tidak sia-sia, ia berhasil melampaui kompetitornya itu.
“Awalnya saya sempat kaget karena jika dilihat dari 10 peserta terbaik yang diambil oleh dewan juri itu, hanya saya yang dari PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Selain itu rata-rata dari peserta yang mengikuti perlombaan ini mereka berkelompok, ini bisa dilihat dari juara 2 dari UIN Maulana Malik Ibrahim (2 orang penulis), dan juara 3 dari UIN Sunan Kalijaga (3 orang penulis). Dari ketiga besar tersebut hanya saya lah yang tidak berkelompok dan Alhamdulliah bisa tembus sebagai juara dalam perlombaan tersebut,” ucapnya.
Terakhir Ela berpesan kepada seluruh mahasiswa UII untuk terus berusaha meraih mimpi setinggi tingginya. Sebab bagaimanapun keadaan dan situasi yang dihadapi, selama masih ada api semangat di dalam diri, pastinya akan ada masa depan yang indah dan manawan kelak di kemudian hari.
“Titik poin dalam berkompetisi itu bukan hanya pada kemenangan, tapi bagaimana menikmati permainan itu tanpa mengharapkan kemenangan. Karena walaupun gagal berkali-kali dalam perjuanganmu, sesungguhnya itu adalah jalan menuju kemenangan yang akan datang dimasa depan. Tergantung bagaimana memahami sebuah diksi dari kemenangan,” pungkasnya. (AMG/RS)