Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati. Selama kita menjadi pembelajar sejati, dengan izin Allah, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.
Melihat ketidaksempurnaan
Dalam memimpin, termasuk dalam konteks memimpin diri sendiri, kadang tidak semua keadaan seperti yang kita bayangkan. Sangat mungkin, kita akan temui, misalnya, keterbatasan informasi untuk pengambilan keputusan dan keterbatasan sumber daya untuk bergerak. Saya yakin Saudara sepakat dengan saya: sangat sedikit yang sempurna dalam kehidupan ini.
Namun, hal itu tentu tidak lantas menyurutkan optimisme kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang keahlian utamanya ada memrotes keadaan dan akhirnya lupa mengambil inistiatif. Jika Saudara saat ini cenderung perfeksionis, yang selalu mengharap kesempurnaan, itu juga sebuah pilihan, meski bukan tanda tantangan dan risiko.
Saya personal, dulunya bagian dari kelompok ini, dan selalu membayangkan yang sempurna. Dalam keseharian, saya sering membayangkan jalan tanpa kabel listrik melintang tak beraturan di sepanjang jalan, jalanan tanpa kemacetan, layanan fisik tanpa antrian, rumah yang selalu rapi, tampilan yang selalu necis, mahasiswa yang selalu taat panduan, dosen yang tertib mengikuti arahan, sejenisnya. Tidak semuanya itu bisa terjadi secara konsisten.
Namun, setelah membaca buku Abrahamson dan Freedman yang berjudul A Perfect Mess (Kesemrawutan yang Sempurna), berangsur saya mengadopsi perspekif baru, mulai belasan tahun lalu. Buku ini memamarkan manfaat tersembunyi dari ketidakteraturan, dalam beragam konteks, personal, rumah, sampai organisasi, dan bahkan masyarakat.
Sindrom “seharusnya begini”
Sifat perfeksionis jika berlebihan dan tanpa pernah mencoba memahami mengapa kesemrawutan dapat terjadi, akan membuat kita tersiksa, karena yang nyata selalu saja tidak sempurna di mata kita. Dalam bahasa sederhana saya, kita terjebak ke dalam “sindrom seharusnya begini”.
Paling tidak perspektif ini akan menjadi pelengkap perspektif tentang kerapian dan keteraturan yang selama ini dianggap menjadi satu-satunya pilihan.
Sebelum melanjutkan, bayangkan beberapa fragmen berikut. Sebagai orang tua, di rumah tak jarang tidak nyaman ketika melihat mainan anak kecil yang berantakan. Kita pun akhirnya meluangkan waktu merapikannya. Tapi, sisi yang jarang disadari, kita merasa tidak punya waktu bermain bersama anak kita. Atau, seorang gadis yang ingin tampil kasual, tetapi memerlukan waktu berjam-jam untuk berdandan. Ini adalah contoh paradoks.
Perspektif untuk berhenti mengharapkan kesempurnaan juga sering saya sampaikan ke mahasiswa pengambil kelas saya. Saya mengajak untuk tidak terjebak dalam sindrom tersebut, tetapi menggantinya dengan sebuah pertanyaan yang menghadirkan kesadaran baru: Dalam kondisi seperti ini, ketika beragam kekangan menghadang dan sumber daya terbatas, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan?
Kerapian bukan tanpa biaya. Bisa dibayangkan misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan, jika semua kabel listrik di Indonesia dibuatkan gorong-gorong di bawah tanah sepanjang jalur distribusinya? Ini belum termasuk risiko lain, seperti banjir dan akses perawatan.
Ketidakteraturan sampai level tertentu seharusnya bisa ditoleransi selama tidak melanggar nilai-nilai mulia, seperti ketidakadilan, kejujuran, kesetaraan. Di sana ada penghargaan terhadap liyan.
Manfaat ketidakteraturan
Apa manfaat dari ketidakteraturan? Banyak. Di antaranya adalah fleksibilitas (flexibility). Ketidakteraturan memungkinkan perubahan dan adaptasi yang lebih cepat dengan biaya yang tidak banyak. Selain itu, ketidakterarturan juga membuka ruang kreativitas yang memunculkan invensi (invention) atau temuan baru.
Penemuan solusi yang tepat guna dalam konteks sumber daya yang terbatas dapat terjadi juga karena ketidaksempurnaan ditoleransi. Inilah yang disebut dengan workaround, solusi “mlipir” yang dibutuhkan memberikan dampak cepat, meski sering kali tidak sempurna (Savaget, 2023). Dalam konteks pengambilan keputusan juga ada konsep rasionaltas terikat (bounded rationality), karena informasi yang tidak lengkap.
Atau, pernah melihat toko klontong serba ada di ruang yang sempit? Ketidakteraturan juga memungkinkan kelengkapan (completeness), karena bisa mengakomodasi kehadiran banyak entitas yang berbeda.
Jika keteraturan memerlukan sumber daya untuk menghadirkannya, maka ketidakteraturan, sebaliknya, bisa memberikan efisiensi (efficiency). Selain itu, ketidakteraturan bisa menjadikan sebuah sistem mempunyai kekokohan (robustness) dalam menghadapi kerusakan, kegagalan, dan imitasi.
Terbuka dengan perspektif baru
Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini sampai detail. Pesan yang ingin saya sampaikan kepada Saudara adalah bahwa kita harus membuka diri dengan perspektif baru. Apa yang pada awalnya seakan tidak masuk akal, bisa jadi memberikan manfaat tersembunyi yang tidak disadari.
Selain itu, saya mengajak Saudara untuk menoleransi ketidaksempurnaan. Peradaban manusia disusun dari berjuta ketidaksempurnaan yang ditoleransi untuk saling berinteraksi.
Contohnya: buku yang sempurna tidak pernah meninggalkan meja penulisnya. Selalu saja ada kekurangan dari setiap buku. Bahkan, mahasiswa yang lulus dengan IPK 4,00 pun tikda berarti memahami semua materi yang didiskusikan dalam perkuliahan tanpa cela.
Saya yakin, jika perspektif ini diadopsi, hidup kita akan lebih berbahagia karena bisa menerima perspektif yang beragam dari manusia lain.
Sambutan wisuda Universitas Islam Indonesia pada 27 Mei 2023
Mendesain Cetak Biru Kampung dan Perumahan di Indonesia
Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) menggelar Coffee Morning Lecture setiap bulannya untuk mendekatkan perguruan tinggi dengan masyarakat. Kegiatan tersebut digelar pada Rabu (31/05) di Ruang IRC Gedung Moh. Natsir Kampus FTSP UII. Tema yang diusung kali ini adalah “Membangun Kampung dan Cetak Biru Kebijakan Perumahan Indonesia”.
Dekan FTSP UII, Dr-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, M.A., IAI. dalam sambutannya mengungkapkan bahwa Coffee Morning Lecture bertujuan agar bahasa akademik yang sulit dipahami masyarakat dapat tersalurkan dengan baik. “Menurut saya terdapat jarak dalam mengungkapkan bahasa akademik yang dimengerti oleh masyarakat sehingga pentingnya forum ini dikemas dalam suasana santai agar kita dapat belajar bersama tentang berbagai masalah yang terkait kepentingan publik dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat,” ungkapnya.
Read more
Tawarkan Beasiswa di IndoNEX 2023, UII Ajak Pelajar Kenya Kuliah di Indonesia
Universitas Islam Indonesia (UII) tengah mencari bibit pelajar unggul dari benua Afrika untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi di kampus Islam ini. Kegiatan promosi internasional ke benua itu pun terus digencarkan. Salah satunya dengan memberangkatkan dua delegasi Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI), yaitu Dr. Joni Aldilla Fajri, S.T., M.Eng. (Kepala Divisi Kemitraan Luar Negeri ) dan Nihlah Ilhami, S.Pd. (Kepala Divisi Mobilitas Internasional) ke Nairobi, Kenya.
Read more
Summer Term 2023 Bersama Mahasiswa Farmasi UII dan URI, AS
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) terus meningkatkan mobilitas globalnya ke berbagai komunitas akademik dunia. Kali ini sebanyak 13 mahasiswa Farmasi UII mengikuti kegiatan University of Rhode Island (URI) Summer 2023 di Yogyakarta bersama 13 mahasiswa URI, Amerika Serikat. Kegiatan yang bertajuk One-Day Field Excursion tersebut berlangsung selama sehari penuh di beberapa lokasi di Yogyakarta pada hari Senin (29/05) lalu.
Read more
UII Jalin Kerja Sama dengan Pemprov Riau
Guna memperluas kemitraan di berbagai bidang, Universitas Islam Indonesia (UII) jalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Kerja sama antara UII dan Pemprov Riau dijalin dengan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Senin (29/5) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII. Penandatanganan MoU antara UII dan Pemprov Riau ini turut dihadiri oleh Gubernur Riau, Drs. H. Syamsuar, M.Si. dan Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.
Melalui sambutannya, Prof. Fathul Wahid menekankan pentingnya kebermanfaatan bagi masyarakat luas dalam tiap-tiap kerja sama yang terjalin. “Kami berharap kerja sama yang kita tandatangani dengan beberapa mitra tidak hanya berhenti dalam bentuk dokumen, tapi betul-betul bisa dilaksanakan, memberikan manfaat, tidak hanya untuk kedua lembaga, tetapi lebih untuk khalayak, untuk konteks yang lebih luas lagi,” ungkap Prof. Fathul Wahid.
Read more
UII Pecahkan Rekor MURI Penanaman Ribuan Bibit Habbatussauda
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) mendapatkan apresiasi dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) atas capaian rekor penanaman 1.400 bibit habbatussauda. Melalui Pusat Studi Obat Herbal (PSOH), Farmasi UII melakukan kerja sama dengan Herba Group sebagai salah satu kepedulian terhadap pentingnya pelestarian bahan obat herbal. Penanaman bibit habbatussauda yang dilaksanakan di Desa Wukirsari, Sleman pada Sabtu (27/5) tersebut bertepatan dengan hari Jamu Nasional yang diperingati tiap tanggal 27 Mei.
Kegiatan penanaman bibit habbatussauda ini turut dihadiri oleh Ketua Jurusan Farmasi UII, Prof. apt. Yandi Syukri, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FMIPA UII, apt. Saepudin, M.Si., Ph.D, dan CEO Herba Group Hanoko Setyawan.
Read more
Memahami Kesemrawutan
Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati. Selama kita menjadi pembelajar sejati, dengan izin Allah, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.
Melihat ketidaksempurnaan
Dalam memimpin, termasuk dalam konteks memimpin diri sendiri, kadang tidak semua keadaan seperti yang kita bayangkan. Sangat mungkin, kita akan temui, misalnya, keterbatasan informasi untuk pengambilan keputusan dan keterbatasan sumber daya untuk bergerak. Saya yakin Saudara sepakat dengan saya: sangat sedikit yang sempurna dalam kehidupan ini.
Namun, hal itu tentu tidak lantas menyurutkan optimisme kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang keahlian utamanya ada memrotes keadaan dan akhirnya lupa mengambil inistiatif. Jika Saudara saat ini cenderung perfeksionis, yang selalu mengharap kesempurnaan, itu juga sebuah pilihan, meski bukan tanda tantangan dan risiko.
Saya personal, dulunya bagian dari kelompok ini, dan selalu membayangkan yang sempurna. Dalam keseharian, saya sering membayangkan jalan tanpa kabel listrik melintang tak beraturan di sepanjang jalan, jalanan tanpa kemacetan, layanan fisik tanpa antrian, rumah yang selalu rapi, tampilan yang selalu necis, mahasiswa yang selalu taat panduan, dosen yang tertib mengikuti arahan, sejenisnya. Tidak semuanya itu bisa terjadi secara konsisten.
Namun, setelah membaca buku Abrahamson dan Freedman yang berjudul A Perfect Mess (Kesemrawutan yang Sempurna), berangsur saya mengadopsi perspekif baru, mulai belasan tahun lalu. Buku ini memamarkan manfaat tersembunyi dari ketidakteraturan, dalam beragam konteks, personal, rumah, sampai organisasi, dan bahkan masyarakat.
Sindrom “seharusnya begini”
Sifat perfeksionis jika berlebihan dan tanpa pernah mencoba memahami mengapa kesemrawutan dapat terjadi, akan membuat kita tersiksa, karena yang nyata selalu saja tidak sempurna di mata kita. Dalam bahasa sederhana saya, kita terjebak ke dalam “sindrom seharusnya begini”.
Paling tidak perspektif ini akan menjadi pelengkap perspektif tentang kerapian dan keteraturan yang selama ini dianggap menjadi satu-satunya pilihan.
Sebelum melanjutkan, bayangkan beberapa fragmen berikut. Sebagai orang tua, di rumah tak jarang tidak nyaman ketika melihat mainan anak kecil yang berantakan. Kita pun akhirnya meluangkan waktu merapikannya. Tapi, sisi yang jarang disadari, kita merasa tidak punya waktu bermain bersama anak kita. Atau, seorang gadis yang ingin tampil kasual, tetapi memerlukan waktu berjam-jam untuk berdandan. Ini adalah contoh paradoks.
Perspektif untuk berhenti mengharapkan kesempurnaan juga sering saya sampaikan ke mahasiswa pengambil kelas saya. Saya mengajak untuk tidak terjebak dalam sindrom tersebut, tetapi menggantinya dengan sebuah pertanyaan yang menghadirkan kesadaran baru: Dalam kondisi seperti ini, ketika beragam kekangan menghadang dan sumber daya terbatas, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan?
Kerapian bukan tanpa biaya. Bisa dibayangkan misalnya, berapa biaya yang dibutuhkan, jika semua kabel listrik di Indonesia dibuatkan gorong-gorong di bawah tanah sepanjang jalur distribusinya? Ini belum termasuk risiko lain, seperti banjir dan akses perawatan.
Ketidakteraturan sampai level tertentu seharusnya bisa ditoleransi selama tidak melanggar nilai-nilai mulia, seperti ketidakadilan, kejujuran, kesetaraan. Di sana ada penghargaan terhadap liyan.
Manfaat ketidakteraturan
Apa manfaat dari ketidakteraturan? Banyak. Di antaranya adalah fleksibilitas (flexibility). Ketidakteraturan memungkinkan perubahan dan adaptasi yang lebih cepat dengan biaya yang tidak banyak. Selain itu, ketidakterarturan juga membuka ruang kreativitas yang memunculkan invensi (invention) atau temuan baru.
Penemuan solusi yang tepat guna dalam konteks sumber daya yang terbatas dapat terjadi juga karena ketidaksempurnaan ditoleransi. Inilah yang disebut dengan workaround, solusi “mlipir” yang dibutuhkan memberikan dampak cepat, meski sering kali tidak sempurna (Savaget, 2023). Dalam konteks pengambilan keputusan juga ada konsep rasionaltas terikat (bounded rationality), karena informasi yang tidak lengkap.
Atau, pernah melihat toko klontong serba ada di ruang yang sempit? Ketidakteraturan juga memungkinkan kelengkapan (completeness), karena bisa mengakomodasi kehadiran banyak entitas yang berbeda.
Jika keteraturan memerlukan sumber daya untuk menghadirkannya, maka ketidakteraturan, sebaliknya, bisa memberikan efisiensi (efficiency). Selain itu, ketidakteraturan bisa menjadikan sebuah sistem mempunyai kekokohan (robustness) dalam menghadapi kerusakan, kegagalan, dan imitasi.
Terbuka dengan perspektif baru
Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini sampai detail. Pesan yang ingin saya sampaikan kepada Saudara adalah bahwa kita harus membuka diri dengan perspektif baru. Apa yang pada awalnya seakan tidak masuk akal, bisa jadi memberikan manfaat tersembunyi yang tidak disadari.
Selain itu, saya mengajak Saudara untuk menoleransi ketidaksempurnaan. Peradaban manusia disusun dari berjuta ketidaksempurnaan yang ditoleransi untuk saling berinteraksi.
Contohnya: buku yang sempurna tidak pernah meninggalkan meja penulisnya. Selalu saja ada kekurangan dari setiap buku. Bahkan, mahasiswa yang lulus dengan IPK 4,00 pun tikda berarti memahami semua materi yang didiskusikan dalam perkuliahan tanpa cela.
Saya yakin, jika perspektif ini diadopsi, hidup kita akan lebih berbahagia karena bisa menerima perspektif yang beragam dari manusia lain.
Sambutan wisuda Universitas Islam Indonesia pada 27 Mei 2023
Belajar Menoleransi Ketidaksempurnaan
Memasuki pertengahan tahun 2023, sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengungkapkan rasa syukur selepas menggelar Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Periode V Tahun Akademik 2022/2023. Prosesi acara yang dilaksanakan pada Jumat (26/05) di Gedung Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir tersebut turut dihadiri orang tua wisudawan dan disiarkan pula melalui kanal daring.
Kali ini, sebanyak 687 lulusan dari berbagai jenjang yang mengikuti, dengan rincian sejumlah 19 ahli madya, 586 sarjana, 78 magister, serta 4 doktor. Wisudawan terbaik dari program Sarjana diraih oleh Khoirun Nisa’ Lu’lu’ Mafruchah, dari Program Studi Manajemen dengan IPK 4,00. Adapun wisudawan terbaik dari jenjang Magister diperoleh Timothy Dillan Tandjung dari Program Studi Informatika dengan perolehan IPK 4,00.
Read more
Gelar Milad ke-56, IKA UII Semakin Solid dan Berkontribusi Bagi Bangsa
Ikatan Keluarga Alumni UII (IKA UII) menggelar perayaan Milad ke-56 sekaligus Halal Bihalal yang dihadiri secara langsung oleh lebih dari 500 alumni dari berbagai daerah pada Jumat (26/05). Acara yang diselenggarakan di The Oval Plaza, Mall Epicentrum Walk Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan tersebut disaksikan secara daring oleh ribuan alumni UII yang tersebar di seluruh Indonesia.
Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H, M.H selaku Ketua Umum DPP IKA UII mengatakan, “Saya berharap para alumni UII mampu hadir sebagai problem solver bagi setiap persoalan bangsa, turut andil dalam merawat keharmonisan masyarakat, mari kita bersatu dalam menjaga keutuhan umat, saling membantu dalam kebaikan, serta berkolaborasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik”.
Read more
Erasmus+ ANGEL Kembangkan Kewirausahaan Hijau untuk Masa Depan Indonesia
Ikhtiar menjaga kelestarian lingkungan melalui inisiatif hijau yang berkembang saat ini sejatinya didasari pada isu pembangunan keberlanjutan. Tiga pilar utama yang menopang inisiatif ini harus selalu menjadi dasar pertimbangan dalam pendekatan kewirausahaan, yaitu people (manusia), planet (bumi), dan profit (manfaat).
Demikian disampaikan Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) dalam pembukaan hari kedua Training of Trainers (ToT) ASEAN Network for Green Entrepreneurship and Leadership (ANGEL) Erasmus+ CBHE, Selasa (23/5), di Kampus Terpadu UII. Kegiatan ini diselenggarakan secara kolaboratif dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui dukungan global dari Erasmus+ CBHE.
Read more
Menanti Peran Intelektual Publik Seorang Profesor
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah tenaga pendidik bergelar profesor. Kali ini, dosen Fakultas Hukum UII, Dra. Sri Wartini, S.H., M.H., Ph.D. berhasil meraih jabatan akademik tertinggi Profesor Bidang Ilmu Hukum. Raihan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 25162/M/07/2023. Dengan raihan ini, Dra. Sri Wartini menjadi Profesor ke-9 di FH dan ke-31 di UII. Penyerahan SK diadakan di Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito, kampus terpadu UII pada Selasa (23/5). Acara dihadiri pimpinan, para profesor, dan perwakilan sivitas FH UII.
Dalam sambutannya, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. mengajak hadirin untuk melantangkan pesan-pesan ilmiah bernas pada khalayak yang lebih luas tanpa meninggalkan peran akademik. Pesan ini dilantangkan sebagai pengingat untuk menjadi intelektual publik lebih baik.
Read more