Penegakan Hukum dengan Dukungan Internet of Things

society 5.0

Forum Kajian dan Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FKPH FH UII) menyelenggarakan Seminar Nasional “Refleksi Penegakan Hukum Indonesia di Era Society 5.0”. Acara daring ini diadakan pada Minggu (31/10) dengan menghadirkan pembicara Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. (Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), Faiz Rahman, S.H., LL.M. (Dosen Fakultas Hukum UGM), Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Ketua Komisi Yudisial RI 2013-2015 dan Dosen FH UII), dan Ari Wibowo, S.H.I., S.H., M.H. (Dosen FH UII).

Suhartoyo dalam keynote speech-nya menyampaikan bahwa Society 5.0 berfokus pada pembangunan masyarakat dengan nilai lebih pada sisi humanis dan kesejahteraan yang didukung oleh Internet of Things (IoT). Paradigma ini dikembangkan untuk menjawab semakin tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi, menipisnya sumber daya alam, terorisme, kehidupan pandemi dengan ketidakpastian, hingga kompleksitas pada hampir seluruh tingkat kehidupan. Kerjasama yang baik dari beragam pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, dan teknologi digitalisasi diperlukan untuk mewujudkan Society 5.0.

Menurutnya, nilai-nilai baru yang terdapat dalam society 5.0, di antaranya analisis kecerdasan buatan, big data, yang mencakup ribuan informasi, tentang diri manusia turut mengubah beberapa aspek, seperti kesehatan, ekonomi, hingga penegakan hukum. Suhartoyo mengatakan bahwa sejatinya penegakan hukum itu berpusat pada manusia. Adapun, perbedaannya di masa society 5.0 ini yaitu adanya dukungan IoT dalam proses pengakkan hukum.

Ia berpendapat, penegakan hukum yang lebih berorientasi pada human centric bertujuan memberikan kehormatan yang tinggi pada hukum yang hidup di masyarakat (living law), dan tidak semata terbatas pada norma perundang-undangan semata. Hal ini selaras dengan pandangan Lawrence Friedman tentang tiga subsistem yang harus dipenuhi dalam proses penegakan hukum, yaitu: legal substance, legal structure, dan legal culture

Ia menyarankan penegakan hukum pada era society 5.0 perlu melihat penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan, independensi, imparsialitas, dan kebebasan lembaga penegak hukum dalam memutus perkara, profesionalisme aparat penegakan hukum, dan melibatkan partisipasi publik.

Sementara itu, Ari Wibowo menyampaikan Society 5.0 menempatkan manusia sebagai pusat aktivitas yang menyeimbangkan antara keuntungan ekonomi dengan solusi-solusi masyarakat. Ini dapat dicapai melalui penggunaan integrasi yang tinggi, baik cyberspace maupun physical space. Perkembangan teknologi nantinya akan menjadi solusi untuk memecahkan masalah-masalah yang ada di masyarakat.

“Ke depan penggunaan internet akan semakin masif, di era society 5.0. Karena segala hal yang biasanya dilakukan oleh manusia, nanti akan dilakukan oleh sistem. Sistem akan lebih pandai karena manusia punya keterbatasan memori, sementara sistem itu bisa menampung banyak sekali data, dan dengan data itulah nanti dia akan melakukan aktivitas, yang mana aktivitas itu dulunya dilakukan oleh manusia,” ujarnya.

Ari mengatakan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyuburkan pertumbuhan globalisasi, yaitu pemudaran batas-batas antar negara. Dampaknya ada yang positif seperti menghemat tenaga manusia, dan akses terhadap ilmu pengetahuan tidak terbatas.

Sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat memicu perkembangan kejahatan cybercrime yang menggunakan alat baru, seperti penyebaran virus, cracking, akses illegal, maupun kejahatan tradisional tapi menggunakan alat baru, seperti penghinaan, penipuan, dan judi.

Menurutnya, kejahatan yang dilakukan di ruang digital memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) borderlines, ruang digital bersifat global dan tidak terbatas pada batasan geografis, 2) accessibility, siapa saja dan kapan saja bisa mengakses, 3) anonymity, ruang digital menyediakan fitur anonimitas yang mampu merahasiakan identitas pengguna, 4) interactivity, ruang digital menyediakan wadah interaksi antar pengguna yang terjadi nonstop, dan 5) rapidity, ruang digital memungkinkan pertukaran data dan informasi secara cepat. 

Terakhir, Ari menjelaskan bahwa kejahatan cybercrime akan berkaitan dengan kejahatan transnasional, yang di Indonesia telah diatur tidak hanya dalam KUHP, tapi juga dengan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Maka menurutnya perlu dilakukan peningkatan keahlian bagi para penegak hukum dalam bidang kejahatan cybercrime ini serta diatur sanksi yang lebih bervariasi lagi dalam mengatasi kejahatan cybercrime ini. (EDN/ESP)