Diskursus dan ikhtiar integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami[1] sudah lama digaungkan, mulai sekitar lima dekade yang lalu, di awal 1970an. Istilah awal yang digunakan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa tokoh besar bisa dituliskan di sini, termasuk Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Naquib Al-Attas. Beragam pendekatan diusulkan. Al-Faruqi mengusulkan tiga tahapan dalam islamisasi, dengan menguasai disiplin modern, menguasai warisan disiplin islami, dan melakukan sintesis kreatif keduanya (Al-Faruqi, 1987). Al-Attas mengusulkan dua tahapan besar: isolasi elemen yang membentuk peradaban dan infusi elemen islami.
Inisiatif tersebut pun tidak serta merta disambut positif. Kritik dengan argumentasi beragam dialamatkan, mulai dari sudut pandang epistemologis, ranah disiplin, sampai dengan strategi praksis. Sesuatu yang sangat lazim dalam dunia akademik.
Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam ranah tersebut secara mendalam. Pembaca yang tertarik dengan diskursus ini dapat merujuk misalnya ke Rahman (1988), Nasr (1991), Stenberg (1996), dan Hashim dan Rossidy (2000).
Memperkuat alasan integrasi
Beragam alasan muncul dalam literatur mengapa integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami. Saya hanya ingin menekankan dua poin, di sini.
Pertama, integrasi harus diniatkan untuk meningkatkan kualitas. Pengembangan psikologi islami, misalnya, harus membuktikan bahwa sub-disiplin ini (jika kita ingin menyebutnya seperti itu) menawarkan perspektif baru yang menjawab masalah yang belum dapat dipecahkan secara baik oleh perkembangan disiplin psikologi mutakhir. Atau paling tidak, memberi alternatif baru untuk pemecah masalah yang lebih efektif di kelompok muslim. Tetapi lebih dari itu, validitas kontribusi psikologi islami seharusnya perlu diuji dengan penggunaannya di luar komunitas muslim, dengan penyesuaian yang diperlukan.
Kedua, integrasi bisa berkontribusi memperkuat landasan epistemologis atau bahkan landasan etis dan teologis pengembangan disiplin psikologi, terutama di kalangan muslim. Di sinilah, perlunya kalangan muslim mendesain masa depannya sendiri untuk berkembang bersama dengan peradaban lain saling berdampingan.
Dalam konteks ini, saya lebih suka mengedepankan semangat ko-eksistensi peradaban dibandingkan dengan benturan peradaban seperti diungkap oleh Huntington (1996). Catatan sejarah pengembangan ilmu pengetahuan di Zaman Keemasan Islam, nampaknya dapat menjadi argumen. Pada saat itu, banyak ilmuwan non-muslim yang terlibat dan bekerja sama dengan para ilmuwan muslim. Menurut Abdelhamid Sabra, sejarawan sains Islam dari Universitas Harvard, “Peradaban tidak berbenturan. Mereka saling belajar. Islam adalah contoh yang baik.” (Overbye, 2001). Tentu, sangat mudah dipahami bahwa pendapat ini dapat memantik diskusi lanjutan.
Mendesain masa depan
Pengembangan psikologi islami bisa menjadi bagian dari ikhtiar sepanjang hayat ini: mendesain masa depan baru, membangun peradaban baru. Umat Islam perlu meningkatkan literasi dan kemampuan dalam mendesain masa depannya sendiri. Dengan demikian, umat Islam diharapkan lebih proaktif terhadap perkembangan mutakhir dan tidak membocorkan banyak energi karena pendekatan “pemadaman api” karena bersifat reaktif atas satu tantangan ke tantangan lain dan bergerak dari satu jalan buntu ke jalan buntu lain. Menurut Sardar (2006), hal ini terjadi karena umat Islam tidak mampu mengapresiasi kekuatan dirinya sendiri, gagap dalam memahami realitas kontemporer, dan lambat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat.
Integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami, bisa dianggap sebagai kesadaran mengenali kekuatan internal, mendedah harta karun khazanah islami. Ini adalah salah satu anak tangga menuju masa depan.
Ada pertanyaan penting di sini, yang perlu mendapatkan jawaban, supaya energi umat tidak banyak mengalami kebocoran. Pertanyaanya adalah: masa depan yang mana?
Berangkat dari kesadaran ini, Sardar dan Sweeney (2016) memberikan arahan. Masa depan dari perspektif temporal dapat dibagi menjadi tiga, masa depan dekat (extended present, 1-10 tahun ke depan), masa depan menengah (familiar futures, 10-20 tahun), dan masa depan jauh (unthought futures, lebih dari 20 tahun). Setiap tahapan ini mempunyai cirinya masing-masing, termasuk tingkat ketidakpastian dan penguasan pengetahuan tentangnya yang kita punya. Karenanya, setiapnya juga membutuhkan strateginya masing-masing untuk mengimajikannya.
Di sini, saya ingin menambahkan satu aspek lagi. Selain atribut temporal masa depan yang menjadikannya jamak (tidak tunggal) dari sisi horizon waktu, masa depan yang diimaji setiap komunitas muslim atau bahkan setiap muslim sangat mungkin berbeda. Kita bisa menyebutkan sebagai atribut komunal (atau bahkan atribut personal) masa depan.
Beberapa orang mungkin membayangkan kesatuan masa depan, tapi pengalaman empiris berabad-abad nampaknya tidak memberikan ruang untuk itu. Memaksakan imaji masa depan tunggal sendiri memerlukan energi yang luar biasa, dan jika gagal membingkainya dalam semangat ko-eksistensi, justru dapat menjadi pemantik benturan yang semakin membocorkan semakin banyak energi. Tidak terlalu sulit mencari contoh kasusnya di Indonesia.
Karenanya, koridor yang agak longgar perlu dibangun untuk mewadahi keragaman imaji masa depan ini. Semua pemilik imaji masa depan harus merasa nyaman berjalan bersama dalam koridor ini. Jika semangat ini dijaga, maka imaji masa depan yang berbeda akan konvergen pada muara yang sama, tanpa saling menafikan atau menjadikan resulante gaya yang dikeluarkan saling meniadakan. Menyepakati batas-batas koridor sendiri bukanlah pekerjaan ringan.
Untuk menghindari pontensi benturan dan menjaga pagar koridor, aktivitas memperbincangkan keragaman imaji masa depan ini menjadi penting. Untuk apa? Untuk mencari irisan terbesar dan mengembangkan semangat saling memahami dan menghormati.
Wallahualam bissawab.
Referensi
Al-Faruqi, I. R. (1987). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon: International Institute of Islamic Thought.
Hashim, R., & Rossidy, I. (2000). Islamization of knowledge: A comparative analysis of the conceptions of AI-Attas and AI-Fārūqī. Intellectual Discourse, 8(1), 19-44.
Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.
Nasr, S. V. R. (1991). Islamization of knowledge: A critical overview. Islamic Studies, 30(3), 387-400.
Overbye, D. (2001). How Islam won, and lost, the lead in science. The New York Times, 30 Oktober. Tersedia daring: nytimes.com/2001/10/30/science/how-islam-won-and-lost-the-lead-in-science.html
Rahman, F. (1988). Islamization of knowledge: A response. American Journal of Islamic Social Sciences, 5(1), 3-11.
Stenberg, L. (1996). The Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing and Islamic Modernity (Vol. 6). Lund: Religionshistoriska avdelningen, Lunds universitet.
Sardar, Z. (2006). What do we mean by Islamic futures? Dalam M Abu-Rabi’. The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (hal. 562-586). Malden, MA: Blackwell Publishing.
Elaborasi ringan dari sambutan pembuka pada The 2nd International Intensive Course on Islamic Psychology (IICIP 2020) yang diselenggarakan secara daring oleh Jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan The International Institute of Islamic Thought Indonesia dan International Association of Muslim Psychologists (IAMP), pada 7-21 November 2020.
[1] Penggunaan istilah nilai-nilai islami atau psikologi islami nampaknya lebih tepat dibandingkan dengan nilai-nilai Islam atau psikologi Islam. Islami di sini sebagai kata sifat atau ajektif.
Berdamai dengan Pandemi?
Akhir-akhir ini, saya mencoba menghindari penggunaan kata pandemi dan Covid-19 dalam sambutan. Tapi, ternyata tidak selalu mudah. Mengapa ini penting? Paparan dari informasi terkait pandemi, ternyata dapat menimbulkan atau menambah tekanan atau stres bagi mereka yang tidak siap. Demikian temuan sebuah penelitian. Ini satu sisi.
Di sisi lain, pengurangan pemberitaan terkait Coivid-19, ternyata juga bisa membuat efek yang tidak diinginkan. Banyak dari kita yang lupa kalau pandemi masih mengancam, sehingga protokol kesehatan sebagai ikhtiar menghindari penularan, pun diabaikan begitu saja.
Saya pikir, yang diperlukan di sini adalah konsistensi menjaga akal tetap sehat. Kita memang tidak sedang baik-baik saja. Namun demikian, kita tetap harus menjaga harapan.
Kita perlu mengembangkan sikap optimisme yang terukur. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari melakukan langkah-langkah mitigasi untuk bertahan, berbenah dengan beragam adaptasi, sampai dengan melihat pandemi dari sudut pandang positifnya. Selain sebagai musibah yang perlu dimitigasi, pandemi juga insyaallah membawa beragam berkah.
Ketika pandemi menyerang di awal tahun ini, perhatian banyak berfokus ke sisi kesehatan, terutama kesehatan fisik. Tetapi, ketika pandemi sudah berlangsung agak lama, kita semakin sadar, banyak industri yang terdampak.
Sebagian industri bahkan terdampak sangat akut, seperti penerbangan dan pariwisata. Korbannya sudah berjatuhan. Kita bisa sebut beberapa contoh. Air Asia sudah merumahkan 2.400 pegawainya. Singapore Airline melakukan langkah serupa untuk 4.300 pegawainya. KLM memutus hubungan kerja dengan 5.000 pegawainya. Air France melakukannya ke 7.500 pegawainya. Daftar contoh ini dapat diperpanjang, karena banyak maskapai yang sudah di ambang kebangkrutan.
Namun sebaliknya, sebagian industri lain justru seakan mendapatkan durian runtuh, karena peluang yang dimunculkan oleh pandemi yang membatasi mobilitas fisik. Termasuk di dalamnya adalah industri penyedia layanan telekomunikasi, retail daring, layanan pendukung pembelajaran daring, dan obat-obatan. Satu contoh ekstrim: kekayaaan Eric Yuan, pendiri dan pemegang saham terbesar zoom, naik Rp 169 triliun hanya dalam waktu enam bulan atau naik Rp 10 juta per detik (!).
Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pandemi ini. Mari kita lakukan refleksi atas apa yang sudah terjadi dan masuk dalam radar kita.
Salah satunya adalah bagaimana pendemi telah memaksa untuk mengasah kurva pembelajaran dalam waktu yang singkat. Kita dilatih membaca situasi dengan cermat dan sekaligus meresponsnya dengan keputusan cepat.
Konsep dan praktik lampau perlu dimaknai kembali. Sebagian bisa didesain ulang, sebagian lainnya, sudah saatnya ditinggalkan dan diganti. Niat utamanya adalah menjadikan organisasi kita menjadi lebih lincah dan tahan banting. Keputusan yang sudah dibuat pun perlu dikawal dengan komitmen.
Kala pandemi ini adalah saat berbenah. Model bisnis baru tersebut (seperti penggunaan layanan daring), hasil berbenah, sangat mungkin menjadi bagian permanen. Model bisnis baru ini bahkan bisa jadi terputus dengan yang sebelumnya, untuk bertahan.
Kita bisa ambil beberapa contoh. Thai Airways yang membuka bisnis kuliner dan berencana menjadikannya jaringan waralaba dan Singapore Air yang menawarkan pengalaman unik menikmati makan di dalam pesawat di landasan. Bisnis inti mereka masih di sektor penerbangan, yang model bisnisnya pun, yang sudah disesuaikan di banyak hal, termasuk terkait dengan protokol kesehatan.
Saya yakin, ada akan titik keseimbangan baru yang terbentuk, meski mungkin tidak terasa nyaman untuk semua orang. Misalnya, penyedia barang atau layanan (seperti pelaku ekonomi) akan merasa terbiasa, khalayak pun menyambutnya. Karenanya, bahkan insyaallah tidak mustahil, model bisnis baru tersebut perlu ditingkatkan skalanya.
Jika dibutuhkan rumus singkat, apa yang perlu kita lakukan, adalah: (1) lakukan refleksi, (2) ambil keputusan dengan cepat, (3) jalani pilihan dengan penuh komitmen, (4) jadikan sebagai bagian proses sehari-hari, dan (5) tingkatkan skalanya.
Saat ini, kita tidak punya banyak pilihan, tapi bukan alasan untuk berpangku tangan. Mengharapkan pandemi tiba-tiba berakhir hanya seperti menunggu Bang Thoyib yang tak kunjung pulang. Waktu terus berjalan. Sayang sekali jika terlewat tanpa perubahan bermakna yang kita lakukan untuk pijakan lompatan ke depan.
Saya mengajak kita semua untuk menyudahi ratapan. Mari semai dan pupuk harapan. Adaptasikan diri kita. Sesuaikan model bisnis kita. Bantu mereka yang rentan untuk kembali menggeliat dan bangkit. Tak lupa, doa terbaik kepada Sang Pencipta terus terpanjatkan.
Kombinasi semua ini nampaknya dapat menjadi semacam ikrar damai dengan pandemi. Wallahualam.
Sambutan pada pembukaan Growth Festival 2020 yang diselenggarakan oleh Simpul Tumbuh Universitas Islam Indonesia pada 17 November 2020.
Perbankan Syariah Belum Mampu Dominasi Sektor Jasa Keuangan
Market share keuangan syariah di Indonesia sebagai negara berpopulasi muslim terbesar terus mengalami peningkatan dibandingkan sektor keuangan konvensional. Khususnya pertumbuhan market share perbankan syariah, dinilai tetap solid di tengah krisis dan justru semakin menanjak. Pewarisan sistem yang baik dari perbankan syariah ini perlu dijaga konsistensinya dari tahun ke tahun.
Sebagaimana disampaikan Banjaran Surya Indrastomo, Ph.D dalam diskusi daring bertajuk “Merger Tiga Bank Syariah BUMN, Apa Manfaatnya Bagi Bangsa?”. Kegiatan ini diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) bekerjasama dengan Forum Silaturahmi Advokat Alumni FH UII. Narasumber lain yang turut hadir yakni Dosen FH UII, Dr. Siti Anisah, M.Hum.
Read more
Tips Produktif Menulis di Tengah Pandemi
Menulis merupakan suatu pemberian manfaat kepada orang lain. Sama halnya dengan meneliti, hasil karya yang ditulis merupakan suatu karya monumental sumbangsih dari si penulis bagi pembacanya. Karena di dalamnya lahir gagasan dan pemikiran. Keterampilan menulis sebagian besarnya dapat diperoleh dengan banyak membaca. Dengan membaca mampu memperkaya kosa kata.
Read more
Mempertahankan Esensi Internasionalisasi
Keterbatasan di tengah pandemi Covid-19 menciptakan tantangan baru bagi internasionalisasi perguruan tinggi. Pasalnya, mobilitas fisik di bidang pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat di situasi pandemi pun terpaksa memanfaatkan fasilitas dunia maya. Dr. Ir. Ridwan., M.Sc. Direktur Kelembagaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyampaikan muncul tantangan baru, yaitu bagaimana program ini (internasionalisasi) bisa dilaksanakan dengan baik tanpa mengurangi nilai, esensi, kualitas dan luaran mutu kegiatan meskipun dilakukan secara daring”.
Read more
Penerapan TIK di Ranah Kesehatan
Tiap tahun, bulan November dijadikan sebagai Bulan Mutu Nasional. Dalam rangka memperingatinya, Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN) menggelar webinar tentang standardisasi di ranah pelayanan kesehatan, Rabu (11/11). “Standar dan Penilaian Kesesuaian sebagai Enabler Layanan Kesehatan Berbasis TIK” menjadi tema pada kesempatan tersebut.
Read more
Peran Penting Apoteker dalam Praktik Kefarmasian
Apoteker memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian. Peran penting apoteker diantaranya seperti dalam pembuatan sediaan farmasi termasuk pengendalian mutu, hingga keamanannya ketika sudah beredar di masyarakat. Karenanya seorang apoteker terlebih dahulu diambil sumpah sebagai komitmen terhadap keahliannya.
Read more
UII Website Appreciation 2020: Penghargaan Website Berkemajuan di UII
Website ibarat jendela bening sebuah rumah. Ketika orang lalu lalang melewatinya, mereka dapat melihat dengan jelas apa saja yang terdapat di dalam rumah itu. Begitu pun si empu rumah yang juga dapat memperlihatkan apa saja yang bisa ia tawarkan kepada khalayak di dalam rumahnya. Oleh karena itu, keberadaan website sangatlah penting dalam menampilkan sekaligus menjaga citra institusi saat ini.
Read more
CILACS UII Gandeng RELO Sosialisasikan Beasiswa Bahasa Inggris
Kesuksesan seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia mampu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan perubahan dalam hidupnya. Karena kesuksesan hidup tidak ditentukan semata oleh keilmuan yang dimiliki, tapi terlebih pada sikap mental yang dimiliki dan jaringan sosial yang ada untuk membuka jalan keberhasilan. Hal ini sebagaimana tergambar dalam event Info Session English Access Microscholarship Program 2020-2022 yang diadakan Cilacs UII secara daring pada Selasa (10/11).
Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka sosialisasi tentang program beasiswa bagi mahasiswa jurusan pendidikan maupun sastra bahasa Inggris di wilayah Yogyakarta. English Access Microscholarship Program 2020-2022 itu sendiri merupakan program kerjasama Cilacs UII dengan Kementerian Luar Negeri/Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui Regional English Language Office (RELO) dan di Indonesia dikelola oleh Indonesian International Education Foundation (IIEF).
Read more
Cegah Stunting di Seribu Hari Pertama
Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) menjadi “golden period” yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Pasalnya, kegagalan optimalisasi di 1000 HPK dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan anak. Nutrisi dan stimulasi merupakan dua hal kunci yang perlu dimaksimalkan di 1000 HPK, “Jika kedua hal tersebut tidak terpenuhi, maka resikonya bisa berupa stunting pada anak”. Hal ini diutarakan oleh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII), dr. Emi Azmi Choiruni, M.Sc., Sp.A, dalam Webinar Series 2 “Seribu Hari Pertama Kehidupan” pada Sabtu, 7 November 2020.
Read more
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Desain Masa Depan
Diskursus dan ikhtiar integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami[1] sudah lama digaungkan, mulai sekitar lima dekade yang lalu, di awal 1970an. Istilah awal yang digunakan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa tokoh besar bisa dituliskan di sini, termasuk Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Naquib Al-Attas. Beragam pendekatan diusulkan. Al-Faruqi mengusulkan tiga tahapan dalam islamisasi, dengan menguasai disiplin modern, menguasai warisan disiplin islami, dan melakukan sintesis kreatif keduanya (Al-Faruqi, 1987). Al-Attas mengusulkan dua tahapan besar: isolasi elemen yang membentuk peradaban dan infusi elemen islami.
Inisiatif tersebut pun tidak serta merta disambut positif. Kritik dengan argumentasi beragam dialamatkan, mulai dari sudut pandang epistemologis, ranah disiplin, sampai dengan strategi praksis. Sesuatu yang sangat lazim dalam dunia akademik.
Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam ranah tersebut secara mendalam. Pembaca yang tertarik dengan diskursus ini dapat merujuk misalnya ke Rahman (1988), Nasr (1991), Stenberg (1996), dan Hashim dan Rossidy (2000).
Memperkuat alasan integrasi
Beragam alasan muncul dalam literatur mengapa integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami. Saya hanya ingin menekankan dua poin, di sini.
Pertama, integrasi harus diniatkan untuk meningkatkan kualitas. Pengembangan psikologi islami, misalnya, harus membuktikan bahwa sub-disiplin ini (jika kita ingin menyebutnya seperti itu) menawarkan perspektif baru yang menjawab masalah yang belum dapat dipecahkan secara baik oleh perkembangan disiplin psikologi mutakhir. Atau paling tidak, memberi alternatif baru untuk pemecah masalah yang lebih efektif di kelompok muslim. Tetapi lebih dari itu, validitas kontribusi psikologi islami seharusnya perlu diuji dengan penggunaannya di luar komunitas muslim, dengan penyesuaian yang diperlukan.
Kedua, integrasi bisa berkontribusi memperkuat landasan epistemologis atau bahkan landasan etis dan teologis pengembangan disiplin psikologi, terutama di kalangan muslim. Di sinilah, perlunya kalangan muslim mendesain masa depannya sendiri untuk berkembang bersama dengan peradaban lain saling berdampingan.
Dalam konteks ini, saya lebih suka mengedepankan semangat ko-eksistensi peradaban dibandingkan dengan benturan peradaban seperti diungkap oleh Huntington (1996). Catatan sejarah pengembangan ilmu pengetahuan di Zaman Keemasan Islam, nampaknya dapat menjadi argumen. Pada saat itu, banyak ilmuwan non-muslim yang terlibat dan bekerja sama dengan para ilmuwan muslim. Menurut Abdelhamid Sabra, sejarawan sains Islam dari Universitas Harvard, “Peradaban tidak berbenturan. Mereka saling belajar. Islam adalah contoh yang baik.” (Overbye, 2001). Tentu, sangat mudah dipahami bahwa pendapat ini dapat memantik diskusi lanjutan.
Mendesain masa depan
Pengembangan psikologi islami bisa menjadi bagian dari ikhtiar sepanjang hayat ini: mendesain masa depan baru, membangun peradaban baru. Umat Islam perlu meningkatkan literasi dan kemampuan dalam mendesain masa depannya sendiri. Dengan demikian, umat Islam diharapkan lebih proaktif terhadap perkembangan mutakhir dan tidak membocorkan banyak energi karena pendekatan “pemadaman api” karena bersifat reaktif atas satu tantangan ke tantangan lain dan bergerak dari satu jalan buntu ke jalan buntu lain. Menurut Sardar (2006), hal ini terjadi karena umat Islam tidak mampu mengapresiasi kekuatan dirinya sendiri, gagap dalam memahami realitas kontemporer, dan lambat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat.
Integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami, bisa dianggap sebagai kesadaran mengenali kekuatan internal, mendedah harta karun khazanah islami. Ini adalah salah satu anak tangga menuju masa depan.
Ada pertanyaan penting di sini, yang perlu mendapatkan jawaban, supaya energi umat tidak banyak mengalami kebocoran. Pertanyaanya adalah: masa depan yang mana?
Berangkat dari kesadaran ini, Sardar dan Sweeney (2016) memberikan arahan. Masa depan dari perspektif temporal dapat dibagi menjadi tiga, masa depan dekat (extended present, 1-10 tahun ke depan), masa depan menengah (familiar futures, 10-20 tahun), dan masa depan jauh (unthought futures, lebih dari 20 tahun). Setiap tahapan ini mempunyai cirinya masing-masing, termasuk tingkat ketidakpastian dan penguasan pengetahuan tentangnya yang kita punya. Karenanya, setiapnya juga membutuhkan strateginya masing-masing untuk mengimajikannya.
Di sini, saya ingin menambahkan satu aspek lagi. Selain atribut temporal masa depan yang menjadikannya jamak (tidak tunggal) dari sisi horizon waktu, masa depan yang diimaji setiap komunitas muslim atau bahkan setiap muslim sangat mungkin berbeda. Kita bisa menyebutkan sebagai atribut komunal (atau bahkan atribut personal) masa depan.
Beberapa orang mungkin membayangkan kesatuan masa depan, tapi pengalaman empiris berabad-abad nampaknya tidak memberikan ruang untuk itu. Memaksakan imaji masa depan tunggal sendiri memerlukan energi yang luar biasa, dan jika gagal membingkainya dalam semangat ko-eksistensi, justru dapat menjadi pemantik benturan yang semakin membocorkan semakin banyak energi. Tidak terlalu sulit mencari contoh kasusnya di Indonesia.
Karenanya, koridor yang agak longgar perlu dibangun untuk mewadahi keragaman imaji masa depan ini. Semua pemilik imaji masa depan harus merasa nyaman berjalan bersama dalam koridor ini. Jika semangat ini dijaga, maka imaji masa depan yang berbeda akan konvergen pada muara yang sama, tanpa saling menafikan atau menjadikan resulante gaya yang dikeluarkan saling meniadakan. Menyepakati batas-batas koridor sendiri bukanlah pekerjaan ringan.
Untuk menghindari pontensi benturan dan menjaga pagar koridor, aktivitas memperbincangkan keragaman imaji masa depan ini menjadi penting. Untuk apa? Untuk mencari irisan terbesar dan mengembangkan semangat saling memahami dan menghormati.
Wallahualam bissawab.
Referensi
Al-Faruqi, I. R. (1987). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon: International Institute of Islamic Thought.
Hashim, R., & Rossidy, I. (2000). Islamization of knowledge: A comparative analysis of the conceptions of AI-Attas and AI-Fārūqī. Intellectual Discourse, 8(1), 19-44.
Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.
Nasr, S. V. R. (1991). Islamization of knowledge: A critical overview. Islamic Studies, 30(3), 387-400.
Overbye, D. (2001). How Islam won, and lost, the lead in science. The New York Times, 30 Oktober. Tersedia daring: nytimes.com/2001/10/30/science/how-islam-won-and-lost-the-lead-in-science.html
Rahman, F. (1988). Islamization of knowledge: A response. American Journal of Islamic Social Sciences, 5(1), 3-11.
Stenberg, L. (1996). The Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing and Islamic Modernity (Vol. 6). Lund: Religionshistoriska avdelningen, Lunds universitet.
Sardar, Z. (2006). What do we mean by Islamic futures? Dalam M Abu-Rabi’. The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (hal. 562-586). Malden, MA: Blackwell Publishing.
Elaborasi ringan dari sambutan pembuka pada The 2nd International Intensive Course on Islamic Psychology (IICIP 2020) yang diselenggarakan secara daring oleh Jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan The International Institute of Islamic Thought Indonesia dan International Association of Muslim Psychologists (IAMP), pada 7-21 November 2020.
[1] Penggunaan istilah nilai-nilai islami atau psikologi islami nampaknya lebih tepat dibandingkan dengan nilai-nilai Islam atau psikologi Islam. Islami di sini sebagai kata sifat atau ajektif.